Dari Abu Hurairah radliyallâhu anhu, bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلا مَرَضٍ ،
لَمْ يَقْضِهِ صِيَامُ الدَّهْرِ وَإِنْ صَامَهُ ﴿رواه البخاري
Barangsiapa tidak berpuasa sehari dari bulan Ramadan, tanpa ada halangan
dan bukan karena sakit, maka tidak bisa diganti (pahalanya) dengan
qadla’ puasa setahun, meski dia melakukannya (HR. Bukhari)
***********
Beberapa saat lagi, Ramadan tiba. Bulan penuh berkah yang dinantikan
kaum muslimin sedunia itu sudah semestinya kita sambut dengan
kegembiraan dan semarak ibadah. Dan yang juga penting adalah membekali
diri dengan pengetahuan fiqhiyyah tentang ibadah terkait dengan bulan
agung tersebut. Ada hal-hal yang musti kita periksa sebelum Ramadan kita
jalani. Diantaranya adalah memastikan bahwa kita tidak memiliki
tanggungan kewajiban qadla’ puasa dari Ramadan tahun lalu.
Sebagaimana ibadah-ibadah lain yang memiliki ketentuan batas waktu,
seperti halnya shalat, puasa pun demikian. Jika seseorang pernah tidak
berpuasa, dengan atau tanpa halangan, maka selekasnya lah melunasi
qadla’ puasa tersebut. Jika tidak berpuasa karena halangan (udzur),
seperti sakit, bepergian, lupa tidak niat di malam harinya, atau datang
bulan bagi wanita, maka hukum menyegarakan qadla’ adalah sunnah, agar
segera terlepas dari beban tanggungan. Dan, jika puasa diabaikan tanpa
udzur yang dibenarkan, misalkan makan dengan sengaja tanpa udzur di
siang hari Ramadan, maka wajib hukumnya untuk segera men-qadla’nya.
Qadla’ puasa Ramadan bisa dilakukan kapanpun, selama belum datang
Ramadan berikutnya, dan bukan merupakan hari-hari yang terlarang
berpuasa, seperti dua hari raya, Idul Fitri dan Idul Adha, dan hari-hari
tasyriq, yakni tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah. Dan, bagi wanita,
tentu saja disyaratkan suci dari haid dan nifas. Jika qadla’ puasa
dilakukan di dua hari raya dan hari-hari tasyriq, maka puasanya tidak
sah.
Kemudian, kesunnahannya, qadla’ puasa Ramadan hendaklah
dilakukan secara berturut-berturut, sejumlah hari yang menjadi
tanggungan kewajibannya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallâhu
anhu, bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَ عَلَيْهِ صَوْمٌ مِنْ رَمَضَانَ فَلْيَسْرُدْهُ وَلَا يَقْطَعْهُ ﴿ رواه الدارقطني والبيهقي
Barangsiapa yang punya tanggungan qadla’ puasa Ramadan, maka hendaklah
dilakukannya secara berturut-turut dan jangan memutusnya (HR. Daraquthni
dan Baihaqi)
Hal ini juga bertujuan untuk menyegerakan
pemenuhan kefardluan, selain juga agar lebih mirip dengan bentuk ibadah
yang di-qadla’-nya, yakni bahwa puasa Ramadan yang dilakukan pada
waktunya, dilakukan secara berturut-turut.
Jika seseorang
memiliki tanggungan qadla’ puasa, dan sepanjang tahun selepas Ramadan
dia dalam keadaan udzur, semisal terus menerus dalam kondisi sakit, atau
terus menerus bepergian, hingga datang Ramadan berikutnya, maka tidak
ada dosa baginya dalam menunda penunaian qadla’ puasa, meski sampai
bertahun-tahun. Dia hanya berkewajiaban melakukan qadla’ puasa sejumlah
hari yang menjadi tanggungannya.
Tetapi jika selepas Ramadan
ada kesempatan untuk melunasi qadla’ puasa, semisal keadaan dirinya
sehat atau tidak terus menerus bepergian jauh, akan tetapi tanggungan
qadla’ puasa tidak segera ditunaikan, hingga datang bulan Ramadan
berikutnya, maka selain tetap berkewajiban melakukan qadla’ puasa
selepas Ramadan kedua, dia juga diwajibkan membayar fidyah, dengan
memberi makan fakir miskin dengan makanan sejumlah 1 (satu) mud untuk
tiap hari tanggungan puasa yang belum di-qadla’-nya. Rasulullah
shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَدْرَكَهُ
رَمَضَانُ فَأَفْطَرَ لِمَرَضٍ ثُمَّ صَحَّ وَلَمْ يَقْضِهِ حَتَّى
أَدْرَكَهُ رَمَضَانُ آخَرُ صَامَ الَّذِي أَدْرَكَهُ ثُمَّ يَقْضِي مَا
عَلَيْهِ ثُمَّ يُطْعِمُ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا ﴿ رواه الدارقطني
والبيهقي
Barangsiapa menemui bulan Ramadan, lalu tidak
berpuasa karena sakit, kemudian sembuh dan belum meng-qadla’nya hingga
ditemuinya Ramadan berikutnya, maka hendaknya dia melakukan puasa untuk
bulan Ramadan yang ditemuinya, kemudian meng-qadla’ puasa yang wajib
dilakukannya dan memberi makan seorang miskin untuk tiap harinya. (HR.
Ad-Daraquthni dan Al-Baihaqi)
Jika selepas Ramadan
kedua, tanggungan qadla’ puasa pada Ramadan pertama tidak juga segera
ditunaikan, padahal tidak ada udzur syar’i pada dirinya, hingga datang
Ramadan tahun ketiga, maka selepas Ramadan ketiga, selain tetap
diharuskan meng-qadla’ puasa, dia diharuskan membayar fidyah lagi untuk
tiap harinya, karena keterlambatan qadla’ hingga Ramadan ketiga.
Demikian seterusnya, kewajiban fidyah berulang dengan berulangnya
keterlambatan tiap tahunnya.
Kewajiban pembayaran fidyah akibat
penundaan pelaksanaan qadla’ ini efektif berlaku sejak masuknya Ramadan
kedua, meski kewajiban melakukan qadla’ baru bisa dilakukan selepas
Ramadan. Bentuk fidyah dalam hal ini adalah memberi makanan kepada fakir
miskin sejumlah 1 mud (mud adalah ukuran volume, setara dengan 679,79
gram beras putih) untuk tiap harinya. Bahan makanan yang diberikan
sebagai fidyah, ketentuannya sama dengan pembayaran zakat fitrah, yakni
bahan makanan pokok daerah setempat.
Kewajiban pembayaran fidyah juga diterapkan dalam permasalahan-permasalahan berikut :
Orang yang meninggal dunia dan masih memiliki tanggungan qadla’
puasa, disebabkan tidak segera meng-qadla’nya, padahal ada kesempatan.
Atau orang yang memiliki tanggungan qadla’ karena tidak berpuasa di
bulan Ramadan tanpa adanya udzur, dan meninggal sebelum meng-qadla’nya.
Orang yang meninggal dalam keadaan semacam ini, tanggungan puasanya
diganti dengan membayar fidyah 1 mud untuk tiap harinya, atau qadla’
puasa yang dilakukan oleh kerabat atau orang yang mendapat izin dari
yang meninggal atau kerabatnya.
Orang yang tidak mampu melakukan
puasa, karena terlampau tua, kondisi fisik lemah, atau penyakit yang
sulit diharapkan kesembuhannya. Mereka boleh tidak berpuasa, dan
diharuskan menggantinya dengan pembayaran fidyah, jika puasa
menjadikannya payah di luar batas kewajaran, atau setara dengan
kepayahan yang memperbolehkan tayammum, yakni yang dapat menyebabkan
kematian, hilangnya fungsi anggota tubuh, memperlambat kesembuhan, atau
menambah sakit yang telah dialami.
Wanita hamil atau menyusui
yang khawatir atas keselamatan janinnya atau berkurang air susunya,
diperbolehkan tidak berpuasa, dan menggantinya dengan fidyah 1 mud tiap
harinya, selain juga wajib meng-qadla’ puasa di hari lain. Ini berbeda
dengan wanita hamil atau menyusui yang tidak berpuasa karena semata-mata
khawatir atas keselamatan dirinya, tanpa ada kekhawatiran akan
keselamatan janin dan berkurangnya air susu, maka yang wajib baginya
hanya meng-qadla’ puasa yang ditinggalkannya.
Orang yang
membatalkan puasa demi menyelamatkan nyawa atau fungsi anggota badan
orang lain, atau hewan hampir mati yang hanya bisa diselamatkan dengan
cara membatalkan puasa, seperti tindak penyelamatan korban yang
tenggelam.
http://www.facebook.com/groups/darahkumendidih/permalink/448580568515692/
0 komentar:
Post a Comment