Future Video

Tuesday, 22 June 2010

TIGA SENDI UTAMA AJARAN ISLAM

Berdasarkan hadits Nabi Muhammmad SAW yang menjelaskan tiga hal yang menjadi prinsip utama dalam agama yang dibawa Nabi Muhammad Saw., disebutkan bahwa, ”Dari Umar bin Khatthab ra, ”Pada suatu hari kami berkumpul bersama Rasulullah SAW, tiba-tiba datang seorang laki-laki yang bajunya sangat putih, rambutnya sangat hitam. Tidak kelihatan tanda-tanda kalau dia melakukan perjalanan jauh, dan tidak seorangpun dari kami yang mengenalnya. Laki-laki itu kemudian duduk di hadapan Nabi SAW sambil menempelkan kedua lututnya kepada lutut Nabi SAW. Sedangkan kedua tangannya diletakkan di atas paha Nabi saw. Laki-laki itu bertanya, ”Wahai Muhammad beritahukanlah aku tentang Islam.” Rasulullah saw. menjawab, ”Islam adalah kamu bersaksi tiada tuhan selain Allah SWT dan Muhammad adalah utusan Allah SWT, mengerjakan shalat, menunaikan zakat, puasa pada bulan ramadhan dan kamu haji ke Baitullah jika kamu telah mampu melaksanakannya.” Laki-laki itu menjawab, ”Kamu benar.” Umar berkata, ”Kami heran kepada laki-laki tersebut, tapi ia sendiri yang membenarkannya”. Laki-laki itu bertanya lagi, ”Beritahukanlah aku tentang Iman.” Nabi saw. menjawab ”Iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikatNya, kitab-kitabNya, para rasulNya, hari qiamat dan qadar Allah SWT yang baik dan yang buruk.” Laki-laki itu menjawab, ”Kamu benar.” Kemudian laki-laki itu bertanya lagi, ”Beritahukanlah aku tentang Ikhsan.” Nabi Muhammmad menjawab, ”Ikhsan adalah kamu menyembah Allah seolah-olah kamu melihatNya, jika kamu tidak dapat melihat-Nya, maka Ia sesungguhnya melihatmu…………….. Kemudian orang itu pergi. Setelah itu aku (Umar) diam beberapa saat. Kemudian Rasullah saw bertanya kepadaku, ”Wahai Umar, siapakah orang yang datang tadi?” Aku menjawab, ”Allah SWT dan RasulNya lebih mengetahui. Nabi Muhammad saw lalu bersabda, ”Sesungguhnya laki-laki itu adalah Jibril as. Ia datang untuk megajarkan agamamu”. (Shahih Muslim, 9)


Memperhatikan hadits ini, ada tiga hal penting yang menjadi inti dari agama yang Rasulullah saw ajarkan, yakni Islam, Iman, Ihsan. Ketiga hal ini merupakan satu kesatuan utuh yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Dalam pengamalan kehidupan beragama, tiga perkara itu harus diterapkan secara bersama-sama tanpa melakukan pembedaan. Seorang muslim tidak diperkenankan terlalu mementingkan aspek Iman dan meninggalkan dimensi Ihsan dan Islam. Dan begitu seterusnya. Sebagaimana firman allah:

”Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. AL-Baqoroh, 208)

Semula ketiganya merupakan kesatuan yang tidak terbagi-bagi. Namun perkembangan selanjutnya para ulama mengadakan pemisahan ketiga hal tersebut. Hingga menjadikan bagian ilmu tersendiri. KH. Ahmad Siddiq mengemukakan beberapa alasan mengenai pemisahan tersebut.

Pertama, karena kecenderungan manusia yang selalu memperhatikan yang Juz’iyyah (bagian-bagian/parsial), setelah melihat secara kulliyah (keseluruhan/global), atau kecenderungan pada diri manusia yang ingin merinci suatu yang global dan pada giliirannya mengutuhkan kembali suatu yang terperinci tersebut.

Kedua, pengaruh perkembangan ilmu dan metodologi ilmu pengetahuan, dimana pengetahuan terhadap satu bagian ilmu sering dikembangkan sedemikian rupa sehingga menjadi suatu cabang ilmu pengetahuan yang terpisah dari lainnya.

Ketiga, karena pengaruh perkembangan. Hal ini dilakukan untuk menjawab kebutuhan zaman yang mengharuskan adanya pengkhususan (spesifikasi) terhadap beberapa disiplin keilmuan, sehingga dapat mempermudah untuk dipelajari. (Pemikiran KH. Ahmad Siddiq, hal. 2)

Ketika melakukan pemisahan tersebut, para ulama berusaha merumuskan batasan dari ketiga hal itu. Syekh Izzuddin bin Abdissalam mencoba menguraikannya, sebagaimana yang dikutip oleh DR. Bakr Isma’il dalam kitab al-Fiqh al-Wadhih, ”Izzuddin bin ’Abdisalam menjelaskan dalam kitabnya yang indah, ,”Zubdah Khulashah al-Tashawwuf” bahwa Islam (dalam arti yang sempit) adalah pelaksanaan beberapa hukum oleh anggota badan, Iman adalah pengakuan hati dengan tegas kepatuhan terhadap Allah SWT, dan Ihsan adalah kesadaran jiwa untuk selalu melihat kebesaran Tuhan Yang maha Kuasa dan Maha Mengetahui”. (al-Fiqh al-Wadhih min al-Kitab wa al-Sunnah, juz I, hal 13)

Uraian yang lebih terperinci diungkapkan oleh Syaikh Abdul Hayyi al Umrawi dan Syaikh Abdul Karim Murad, ”Rasulullah saw memberi nama Iman, Islam dan Ihsan sebagai Agama. Sebagaimana nama seseorang hamba (manusia) dituntut untuk percaya kepada Allah SWT, kepada semua rasul dan semua yang datang dari Allah SWT, yang kemudian disebut “Iman”, demikian pula seorang hamba diperintahkan untuk melaksanakan berbagai macam ibadah, baik ibadah qawliyyah (ucapan) dan badaniyah (gerakan badan/fisik) atau gabungan dari keduanya, seperti shalat, atau ibadah badaniah dan maaliyyah (harta) atau penggabungan dari keduanya, seperti haji dan jihad, yang selanjutnya disebut dengan “Islam”, maka seorang hamba juga diharuskan untuk mempraktikkan adab (etika dan sopan santun) yang sesuai dengan sikap penghambaannya di hadapan Tuhannya. Etika itu merupakan akhlak yang dipraktikkan Rasulullah SAW kepada Allah SWT dan kepada sesama mahluk. Aspek ini disebut dengan ”Ihsan””.(al-Tahdzir mi al-Ightirar, 145).
Penjelasan ini semakin mengerucutkan pembagian Iman, Islam dan Ihsan. Iman dikhususkan kepada perhatian terhadap dimensi ketauhidan (peng-esaan) kepada Allah SWT, Islam ditujukan kepada perbuatan lahiriah dan Ihsan dititikberatkan pada rohaniah.

Dan dalam perkembangan selanjutnya bagian-bagian itu kemudian dielaborasi sehingga menjadi bagian ilmu tersendiri yang berbeda. Perhatian terhadap Iman memunculkan ilmu tauhid atau ilmu kalam. Perhatian khusus pada aspek Islam (dalam pengertian yang sempit) menghadirkan ilmu fiqh atau ilmu hukum Islam dan penelitian terhadap dimesi Ihsan melahirkan ilmu tashawwuf atau ilmu akhlaq. (Pemikiran KH. Achamd Siddik, 1-2)

Penjelasan yang sama dapat kita temukan dalam kitab al-Tahdzir min al-Ightirar halaman 145, ”Ilmu yang membidangi persoalan akidah disebut ilmu ushuluddin (ilmu tauhid atau ilmu kalam). Sedangkan ilmu yang memfokuskan pada pembahasan amaliah sehari-hari dinamakan ilmu fiqh. Dan ilmu yang membahas tentang adab (tatakrama) diberi nama ilmu tashawwuf. (al-Tahzir min al-Ightirar hal 145)

Dapat ditarik benang merahnya bahwa inti ajaran Islam adalah Iman, Islam dan Ihsan yang harus diamalkan secara kaffah. Dan dari perjalanan sejarah, secara keilmuan berkembang dan dielaborasikan menjadi ilmu tauhid, fiqh dan tashawwuf.

0 komentar:

Post a Comment

Mobil Bekas
Pasang Iklan Rumah
Kontak Jodoh