Future Video

Tuesday 22 June 2010

PERTEMANAN: NILAI IBADAH SEBAGAI KEBUTUHAN

Min husni al-ikhtiyâr, shuhbah al-akhyâr, demikian bunyi grafiti yang penulis pernah lihat saat berada di tanah suci Makkah beberapa waktu yang lalu. Pernyataan yang berarti “termasuk bagian dari upaya yang baik adalah berteman dengan orang-orang baik” itu bisa dianggap “yang paling bertanggung jawab” atas lahirnya tulisan sederhana ini.

Kita, manusia, adalah ‘sejenis’ makhluk yang tidak bisa hidup independen se-independen-nya. Istilah kerennya, kita ini makhluk sosial alias zoon politicon (Al-Insânu madaniyyun bi ath-thab’i - Lihat: Târîkh Ibn Khaldûn, 1/hlm. 41). Maka, dalam perhitungan akal, kita tidak mungkin bisa hidup dan survive dalam dunia isolasi. Kita membutuhkan seseorang dan sesuatu diluar kita. Kita memerlukan sebuah interaksi, sebuah simbiosis.
Dan dari sekian banyak ‘tujuan’ hadirnya Islam adalah untuk menjawab kebutuhan paling mendasar semacam ini. Islam menyuguhkan seperangkat aturan dan norma yang sedetil mungkin mengarahkan dan menuntun proses simbiosis ini agar (sesuai standar-standar ilahiyyah) terwujud simbiosis mutualisme dan –minimal-- simbiosis komensalisme, serta terhindarinya simbiosis parasitisme.

Salah satu realisasi dari kebutuhan berinteraksi tersebut adalah pertemanan (al-shuhbah, friendship). Ada beberapa faktor yang menumbuhkan rasa dan ikatan pertemanan ini. Yang paling umum adalah alasan “kesamaan”, seperti kesamaan agama, kesamaan selera, kesamaan karakter, kesamaan latar belakang pendidikan, kesamaan daerah atau suku, dan sebagainya. Beberapa bentuk ikatan pertemanan pun banyak dibuat untuk mewadahinya, baik di dunia nyata (semacam ikatan alumni, ikatan keluarga, organisasi sosial, organisasi politik dan fans club) ataupun dalam jejaring dunia maya. Friendster, Facebook, dan Twitter adalah contoh beberapa situs yang secara khusus memfasilitasi mereka yang terikat (atau ingin mengikat diri) dalam sebuah ikatan pertemanan. Namun pada prinsipnya, sebuah ikatan pertemanan selalu didasari oleh adanya kecocokan dan rasa saling menyukai (kesamaan).

Di sisi lain, kita –sebagai kaum muslimin—dituntut untuk selalu ‘beribadah sampai akhir hayat’; yakni selalu mengupayakan nilai ibadah dalam setiap tindakan dan diam kita, termasuk saat kita harus mengikat diri dalam sebuah ikatan pertemanan. Saat tumbuh keinginan dan rasa dalam diri kita untuk berteman dengan si A atau si B, saat itulah kita harus mengedepankan norma dan aturan agama untuk mengukur layak-tidaknya ikatan yang hendak kita buat; apakah ia dapat menjadi lahan persemaian pahala, atau, minimal, tidak menjadi ajang menumpuk dosa, atau justru akan menjadi tembok penghalang yang semakin menjauhkan kita dari kebahagiaan ukhrawi.

Sebagai standar pokok dalam pertemanan, tersebut sebuah hadits yang menyatakan, bahwa salah satu kelompok yang akan dinaungi-Nya kelak di hari kiamat adalah mereka yang saling menyukai karena-Nya; berkumpul karena-Nya, dan berpisah pun karena-Nya (lihat: Syarh an-Nawawi ‘alâ Muslim, 1/hlm. 120, Bâb Ikhfâ’ as-Shadaqah). Dasar pemahaman “saling menyukai karena-Nya” inilah yang sangat mungkin melahirkan banyak paparan ulama tentang rambu-rambu pertemanan.

Berkaitan dengan rambu-rambu pertemanan tersebut, Imam An-Nawawi (631- 676 H) menegaskan adanya larangan pertemanan dengan siapa pun yang tindak tanduknya tidak membangkitkan kita (untuk mengingat-Nya) dan ucapan-ucapannya tidak mengarahkan kita pada (taqwa)-Nya (Îqâdz al-Himam Syarh al-Hikam, hlm. 57). Sementara itu, Imam al-Ghazali (450-505 H) menyimpulkan asas pertemanan kita dengan orang lain ke dalam lima butir pokok pemikiran: (1) cerdas, (2) berakhlaq baik, (3) shalih, (4) tidak bersifat tamak pada dunia, dan (5) memiliki sifat jujur (Bidâyah al-Hidâyah, hlm. 22).

Selanjutnya, berdasarkan paparan Sayyid Abdullâh Ibnu Alawi al-Haddâd al-Husaini (1044- 1132 H) dalam karyanya An-Nashâ-ih ad-Dîniyyah wa al-Washâyâ al-Îmâniyyah (hlm. 295), pertemanan, berikut status dan kondisi-kondisi yang melatar-belakanginya, dapat dibagi menjadi tiga:

Pertama, pertemanan diniyah, yakni pertemanan atas dasar ibadah, semisal karena ia adalah seorang yang taat pada-Nya, atau karena ia mendorong dan membantu kita untuk taat pada-Nya, pun jika karena ia membantu kehidupan dunia kita sebagai sarana menuju kebahagiaan akhirat.

Kedua, pertemanan naluriah, yaitu pertemanan atas dasar kesamaan rasa/selera, seperti berteman dengan seseorang karena kita menyukainya, merasa cocok/sehati dengannya; atau karena ia ikut membantu mewarnai kehidupan kita menjadi lebih indah. Pertemanan semacam ini sah-sah saja dan bahkan tak tertutup peluang dapat menarik banyak kebaikan ukhrawiyah selama batasan dan norma-norma agama (al-hudûd ad-dîniyyah) tetap dipegang teguh.

Ketiga, pertemanan tak terpuji, yaitu saat kita berteman dengan seseorang yang membantu atau mendorong kita untuk enjoy dan ‘merasa tidak sendiri’ dalam maksiat, dosa, dan pelanggaran rambu-rambu agama. Juga saat dalam pertemanan itu, kita tidak bisa bersikap untuk, paling tidak, mengingkari kemaksiatannya, apalagi jika sampai tumbuh sikap permisif dengan kemaksiatan tersebut. Bukankah ar-ridlo bi al-ma’shiyah, ma’shiyatun?

Di sini terlihat pentingnya upaya-upaya “mengenal” siapa calon teman kita sebelum terjadi “perkenalan” itu sendiri. Pengenalan ini tentu sebatas yang dzahir pada kita saja, karena apa yang terlihat kadang tak seperti apa yang terjadi. Namun bagaimanapun, upaya ini tetap penting, karena dengan mengenal sisi-sisi lain dari calon teman kita itu, kita bisa memiliki referensi untuk dijadikan acuan sebelum kita memutuskan akankah melanjutkan pertemanan dengannya atau tidak. Setidaknya, jika pertemanan dengannya tak dapat terhindari, kita sudah punya perangkat filter untuk menyaring mana yang bermanfaat dari pertemanan itu, mana yang “no problem”, dan mana pula yang berpotensi “membahayakan” bagi diri dan agama kita. Meminjam pengistilahan ilmu nahwu, wa lâ yajûzu al-ibtidâ’ bi an-nakirah # mâ lam tufid ka ‘inda zaidin namirah (Nadzm Alfiyah Ibni Malik, bait ke 125); lafadz yang nakirah (alias karakter yang tidak jelas juntrungannya) tak layak dijadikan mubtada’ (tokoh utama) kecuali jika jelas-jelas ada faedahnya dalam tarkib kehidupan kita.

Demikianlah sedikit hal tentang pertemanan, sebuah persoalan yang kelihatannya sepele, namun sejatinya punya efek yang besar dalam kehidupan seseorang. Semoga tulisan sederhana ini bisa bermanfaat bagi kita semua dan manjadi pijakan awal saat kita hendak “meng-add” seseorang sebagai bagian dalam hidup dan keseharian kita. Dengan pertimbangan dan perhitungan yang cermat, maka sebuah pertemanan dapat menjadi tambahan bekal ukhrawi kita dan bagian dari penghambaan kita kepada-Nya.

Wa-Llâh A'lam bi-s Showâb

Prenduan, Muharram, 1431 H

al-Faqir ila Rahmati Rabbihi al-'Allâm:
Zainur Rahmân bin Hammâm

0 komentar:

Post a Comment

Mobil Bekas
Pasang Iklan Rumah
Kontak Jodoh