Sowan adalah tradisi santri berkunjung
kepada kyai dengan harapan mendapatkan petunjuk atas sebuah permasalahan yang
diajukannya, atau mengharapkan do’a dari kyai atau sekedar bertatap muka
silaturrahim saja. Seperti yang dianjurkan oleh Rasulullah saw bahwa
bersilaturahim dapat menjadikan umur dan rezeki bertambah panjang. Sowan dapat
dilakukan oleh santri secara individu atau bersama-sama. Biasanya seorang kyai
akan menerima para tamu dengan lapang dada.
Bagi wali santri yang hendak menitipkan
anaknya di Pesantren, sowan kepada kyai sangat penting. Karena dalam kesempatan
ini ia akan memasrahkan anaknya untuk dididik di Pesantren oleh sang kyai.
Begitu pula dengan calon santri, inilah kali pertama ia melihat wajah kyainya
yang akan menjadi panutan sepanjang hidupnya.
Sowan tidak hanya dilakukan oleh santri
yang masih belajar di pesantren. Banyak santri yang telah hidup bermasyarakat
dan berkeluarga mengunjungi kyainya hanya sekedar ingin bersalaman semata. Atau
sengaja datang membawa permasalahan yang hendak ditanyakan kepada kyai tentang
berbagai masalah yang dihadapinya.
Hal ini menjadikan bahwa hubungan kyai
santri tidak pernah mengenal kata putus. Kyai tetap menjadi guru dan santri
tetap menjadi murid. Dalam dunia pesantren istilah alumni hanya menunjuk pada
batasan waktu formal belaka, dimana seorang santri pernah belajar di sebuah
pesantren tertentu. Tidak termasuk di dalamnya hubungan guru-murid. Meskipun
telah manjadi alumni pesantren A, seseorang akan tetap menjadi santri atau
murid Kyai A.
Di beberapa daerah tradisi sowan
memiliki momentumnya ketika idul fitri tiba. Biasanya, seorang kyai sengaja
mempersiapkan diri menerima banyak tamu yang sowan kepadanya. Mereka yang sowan
tidaklah sebatas para santri yang pernah berguru kepadanya, namun juga
masyarakat, tetangga dan bahkan para pejabat tidak pernah berguru langsung
kepadanya. Mereka datang dengan harapan mendapatkan berkah dari kealiman
seorang kyai. Karena barang siapa bergaul dengan penjual minyak wangi,
pasti akan tertular semerbaknya bau wangi.
Pada bulan syawal seperti ini, sowan
kepada kyai merupakan sesuatu yang utama bagi kalangan santri. Hampir sama
pentingnya dengan mudik untuk berjumpa keuarga dan kedua orang tua. Pantas
saja, karena kyai bagi santri adalah guru sekaligus berlaku sebagai orang tua.
Oleh karena itu sering kali mereka yang kembali pulang dari perantauan
menjadikan sowan kepada kyai sebagai alasan penting mudik di hari lebaran. Bagi
santri yang telah jauh berkelana mengarungi kehidupan, kembali ke pesantren dan
mencium tangan kyai merupakan ‘isi ulang energi’ recharger untuk menghadapi
perjalanan hidup ke depan. Seolah setelah mencium tangan kyai dan bermuwajjahah
dengannya semua permasalahan di depan pasti akan teratasi. Semua itu berlaku
berkat do’a orang tua dan kyai.
Hal ini sesuai dengan apa yang
dikatakan Imam Nawawi sebagaimana dinukil oleh Ibn Hajar al-Asqolani dalam
kitab Fathul Bari:
قالَ الاِمَامْ
النَّوَاوِيْ : تقبِيْلُ يَدِ الرَّجُلِ ِلزُهْدِهِ وَصَلاَحِهِ وَعِلْمِهِ اَوْ
شرَفِهِ اَوْ نَحْوِ ذالِكَ مِنَ اْلاُمُوْرِ الدِّيْنِيَّةِ لاَ يُكْرَهُ بَل
يُسْتَحَبُّ.
Imam Nawawi berkata : mencium tangan seseorang karena zuhudnya, kebaikannya, ilmunya, atau karena kedudukannya dalam agama adalah perbuatan yang tidak dimakruhkan, bahkan hal yang demikian itu disunahkan.
Demikianlah tradisi sowan ini
berlangsung hingga sekarang. Para santri meyakini benar bahwa seorang kyai yang
alim dan zuhud jauh lebih dekat kepada Allah swt dibandingkan manusia pada
umumnya. Karena itulah para santri sangat mengharapkan do’a dari para kyai.
Karena do’a itu nilainya lebih dari segudang harta. Inilah yang oleh orang awam
banyak diistilahkan dengan tabarrukan, mengharapkan berkah dari do’a
kyai yang mustajab karena kezuhudannya, kewira’iannya dan ke’alimanya.
Dengan demikian, optimisme dalam
menghadapi kehidupan dengan berbagai macam permasalahannya merupakan nilai
posittif yang tersimpan di balik tradisi sowan. Sowan model inilah yang
dianjurkan oleh Rasulullah saw.
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي
رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakkan
rezekinya, hendaklah ia menyambungkan tali persaudaraan (silaturrahim)” (HR. Bukhari dan Muslim).
عَنْ أَبِي أَيُّوبَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَخْبِرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ قَالَ مَا لَهُ مَا لَهُ
وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَبٌ مَا لَهُ تَعْبُدُ
اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمُ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ
وَتَصِلُ الرَّحِمَ ” .رواه البخاري .
“Dari Abu Ayyub Al-Anshari ra. bahwa ada seseorang berkata
kepada Nabi saw., “Beritahukanlah kepadaku tentang satu amalan yang memasukkan
aku ke surga. Seseorang berkata, “Ada apa dia? Ada apa dia?” Rasulullah saw.
Bersabda, “Apakah dia ada keperluan? Beribadahlah kamu kepada Allah jangan kamu
menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, tegakkan shalat, tunaikan zakat, dan
bersilaturahimlah.” (Bukhari).
Artinya, hanya silaturrahim yang
bernilai positiflah yang akan diganjar oleh Allah sebagaimana dijanjikan
Rasulullah dalam kedua haditsnya. Bukan silaturrahim yang bernilai negatif
yaitu silaturrahim yang melanggar aturan syariat Islam.
Oleh : Saifurroyya
Sumber : www.nu.or.id
0 komentar:
Post a Comment