Masuknya bulan Ramadhan ditetapkan dengan melihat hilal. Tidak cukup hanya dengan ilmu hisab atau ilmu astronomi untuk menetapkan masuknya bulan Ramadhan atau menetapkan selesainya puasa. Hanya saja mungkin astronomi menguatkan sebagian pendapat sehingga perkiraan naik menjadi keyakinan. Syari’ (Allah) hanya memperhitungkan melihat hilal dan menggantungkan hukum dengan hal itu. Allah meringankan urusan agama, sehingga Dia tidak membebani kita untuk berhitung menurut ilmu astronomi. Nabi hanya memerintah kita untuk melihat-lihat hilal. Jika kita melihat hilal, kita puasa. Jika kita tidak melihatnya, kita tidak puasa. Dan:
“Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. (QS Al Baqarah 2 : 286)
1- Muslim dalam Shahihnya meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, bahwa Nabi SAW bersabda:
“Puasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah kalian karena melihatnya. Jika ia tertutup mendung atas kalian, maka sempurnakanlah hitungan Sya’ban tiga puluh hari” .
2- Bukhari meriwayatkan, bahwa Ibnu Umar RA berkata: “Aku mendengar Nabi bersabda:
“Jika kalian melihatnya, maka puasalah kalian. Dan jika kalain melihatnya, maka berbukalah kalian. Jika hilal tertutup atas kalian, maka perkiralah ia” .
Yakni perhitungkan jumlah hari. Berpuasalah kalian selama tiga puluh hari, sebab bulan tidak akan lebih banyak dari itu.
KESAKSIAN SATU ORANG
Jika ada masalah di langit, yaitu mendung atau debu atau kabut atau hal lainnya yang menghalangi pandangan, maka diterima kesaksian seorang lelaki yang adil. Adil adalah muslim, selalu memeluk Islam dan tidak dikenal sebagai oang fasik atau suka berkelakar. Karena melihat hilal termasuk urusan agama, maka disyaratkan adil sebagaimana urusan agama lain.
Jika di langit tidak ada masalah, maka harus ada saksi beberapa orang dari muslimin. Menurut Abu Hanifah dan Malik cukup kesaksian dua orang untuk menetapkan Ramadhan.
Syafii dan Ahmad berkata: “Cukup kesaksian satu orang lelaki yang adil untuk menetapkan masuknya Ramadhan”.
1- Berdasarkan hadits, bahwa Ibnu Umar berkata: “Orang-orang saling memandang hilal. Kemudian aku memberitahu Nabi bahwa aku melihatnya. Maka Nabi berpuasa dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa” .
2- Dan hadits, bahwa Ibnu Abbas berkata: “Seorang lelaki badui menghadap Nabi SAW, lalu berkata: “Saya sungguh melihat hilal Ramadhan”. Nabi bersabda kepadanya: “Apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah?” Badui menjawab: “Ya”. Nabi bertanya lagi: “Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah?” Badui menjawab: “Ya”. Nabi bersabda: “Hai Bilal, beritahukanlah pada umat manusia, maka hendaklah mereka berpuasa besok” .
Mereka berkata: “Sudak cukup satuorang untuk menetapkan Ramadhan demi hati-hati urusan puasa. Lain halnya Saywwal”.
Tirmidzi berkata: “Hadits inilah yang dijadikan pegangan menurut sebagian besar ulama. Mereka berkata: “Diterima kesaksian satu orang lelaki mengenai puasa. Ini pendapat Syafii dan Ahmad” .
Nawawi berkata: “Itulah pendapat yang paling sahih. Adapun hilal Syawwal ditetapkan dengan sempurnanya bulan Ramadhan tiga puluh hari dan saksi satu orang tidak cukup menurut sebagian besar ulama fikih. Minimal saksi hilal Syawwal dua orang lelaki yang adil”.
Menurut saya, untuk menetapkan masuknya bulan Ramadhan cukup satu orang saksi. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar dan hadits badui tersebut. Di mana Nabi memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa. Seandainya kita perkirakan, bahwa terjadi kesalahan dalam melihat, maka menambah puasa hari tidak masalah. Adapun jika hari itu termasuk Ramadhan dan kita tidak menerima kesaksian satu orang, maka tidak berpuasa adalah urusan yang berbahaya dan urusan urusan ibadah sebaiknya hati-hati.
Mengenai penetapan hilal Syawwal, sebaiknya ada sekelompok orang muslimin. Minimal dua orang. Syari’ memerintahkan agar ada dua orang dalam haltersebut:
“Dan persaksikanlah dua orang saksi yang adil di antara kamu”. (QS Ath Thalaq 65 : 2)
Hal tersebut sama dengan kesepakatan ulama fikih.
Hilal tidak bisa ditetapkan berdasarkan ilmu astronomi dan falak yang berdasarkanperedaran rembulan, sebab perbedaan pendapat ulama ahli astronomi mengenai munculnya hilal. Astronom ini berkata: “Hilal muncul malam anu”. Astronom yang lain berkata: “Tidak muncul”. Yang lain berkata dengan mantap: “Malam ini tidak mungkin terlihat hilal dan puasa lusa”. Demikianlah kita lihat sengketa pendapat antara astronom. Karena itu sebaiknya puasa tidak berdasarkan ilmu hisab, sebab tidak berlandaskan pada dasar yang kuat menurut syariat. Syari’ menggantungkan puasa, berbuka dan haji dengan memandang hilal, bukan dengan adanya hilal, jika kita umpamakan pendapat astronom benar. Padahal Nabi bersabda:
“Sesungguhnya kita umat yang umi, tidak bisa membaca maupun berhitung. Bulan adalah sekian, sekian dan sekian atau sekian dan sekian”. Pada kali ketiga Nabi menggenggam. Yakni dua puluh sembilan atau tiga puluh hari” .
Yang dimaksudkan oleh Nabi adalah Allah tidak membebani kita untuk belajar ilmu nujum dan mengerti teori ilmu astronomi. Kita umat fitrah. Jika kita melihat hilal, maka kita puasa. Jika kita tidak melihatnya, kita tidak puasa. Bulan adakalanya sempurna yaitu tiga puluh hari. Atau kurang yaitu dua puluh sembilan hari. Bulan tidak mungkin melebihi tiga puluh hari atau kurang dari dua puluh sembilan. Wallahu a’lam.
TETAPNYA BULAN RAMADHAN
Dalam kitab Al Fikih Ala Al Madzahib Al Arba’ah disebutkan demikian: “Bulan Ramadhan ditetapkan dengan salah satu dari dua hal:
Pertama : melihat hilal Ramadhan jika di langit tidak ada benda yang menghalangi pandangan, yaitu mendung atau asap atau debu atau sejenisnya.
Kedua : Sya’ban telah lengkap tiga puluh hari jika di langit ada benda tersebut. Sebab Nabi bersabda:
“Puasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah kalian karena melihatnya. Jika ia tertutup mendung atas kalian, maka sempurnakanlah hitungan Sya’ban tiga puluh hari”. (HR Bukhari)
Makna hadits adalah jika langit cerah, maka urusan puasa tergantung pada melihat hilal. Tidak boleh menjalankan puasa, kecuali jika hilal terlihat. Jika langit tidak berawan, maka yang menjadi pedoman adalah bulan Sya’ban. Maksudnya Sya’ban kita lengkapkan menjadi tiga puluh hari. Jika Sya’ban kurang dalam perhitungan kita, maka kita buang kekurangan itu. Jika sebenarnya Sya’ban memang sempurna tiga puluh hari, maka wajib puasa.
Kaidah tersebut dibuat oleh syari’ (Allah hakekat dan Nabi majaz) yang memerintahkan puasa. Syari’lah (Nabi) pemilik hak mutlak perihal membuat tanda yang beliau inginkan. Padahal Nabi bersabda kepada kita: “Jika langit cerah dan bisa melihat hilal, maka carilah hilal dan berpuaslah ketika melihatnya. Jika tidak, maka tidak”. Jika langit berawan, maka hendaknya kita kembali kepada hitungan bulan Sya’ban dan kita sempurnakan menjadi tiga puluh hari.
Tiga Imam berpendapat demikian. Namun ulama madzhab Hanbali berbeda pendapat mengenai langit berawan. Mereka berdasarkan redaksi lain dalam hadits lain, yaitu sabda Nabi:
“Berpuasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah kalian karena melihatnya. Jika ia tertutup atas kalian, maka perkirakanlah ia”.
Mereka berkata: “Arti “perkirakanlahia” adalah berpuasalah demi sikap hati-hati”.
Ulama madzhab Hanbali juga bertendensi pada perbuatan Ibnu Umar, rawi hadits di atas. Dijelaskan, bahwa apabila sudah lewat dua puluh sembilan hari dari Sya’ban, maka Ibnu Umar mengutus orang untuk melihat. Jika orang itu melihat hilal, maka sudah jelas. Jika dia tidak melihat hilal dan tak ada mendung ataupun debu penghalang pandangan, maka Ibnu Umar pagi harinya tidak berpuasa. Jika ada penghalang pandangan, maka Ibnu Umar pagi harinya berpuasa. Hari tersebut tidak disebut hari syakk (hari bimbang) jika demikian halnya. Menurut mereka, tidak ada hari syakk, kecuali jika hari cerah dan orang-orang enggan untuk melihat hilal.
Berdasarkan hal tersebut ulama madzhab Hanbali mengatakan: “Jika hilal berawan pada terbenamnya matahari tanggal dua puluh sembilan Sya’ban, maka tidak harus menyempurnakan Sya’ban menjadi tiga puluh hari dan muslim harus berniat di malam hari serta pagi harinya wajib berpuasa, baik sebenarnya suadh Ramadhan atau masih Sya’ban. Niatnya puasa Ramadhan. Jika di tengah hari jelas bahwa hari itu masih Sya’ban, maka harus menyempurnakannya” .
PENDAPAT AHLI ASTRONOMI
Al Jazairi berkata: “Pendapat ahli stronomi atau ilmu falak tidak dipandang sama sekali. Mereka tidak wajib berpuasa berdasarkan perhitungan mereka. Orang yang percaya kepada mereka juga tidak wajib berpuasa. Sebab syari’ menggantungkan puasa pada satu kaidah kokoh yang tidak akan berubah selamanya : melihat hilal atau menyempurnakan hitungan tiga puluh hari.
Apabila pendapat pakar ilmu falak didasari oleh kaidah-kaidah yang pelik, maka kita melihat bahwa ilmu falak tidak konkrit. Buktinya seringkali mereka sendiri berbeda pendapat. Demikian pendapat tiga Imam. Sementara ulama madzhab Syafii berbeda pendapat. Mereka mengatakan: “Pendapat ahli falak diperhitungkan untuk dirinya sendiri dan orang yang membenarkannya. Tidak wajib puasa atas kaum muslimin secara umum berdasarkan pendapatnya menurut pendapat yang kuat” .
HUKUM MENCARI HILAL
Fardhu kifayah atas muslimin untuk mencari-cari keberadaan hilal ketika matahari terbenam pada tanggal dua puluh sembilan Sya’ban dan Ramadhan. Dengan demikian, mereka yakin mengenai urusan agama dan mereka jelas kapan berbuka dan berpuasa. Sebab Allah menggantungkan urusan puasa, haji dan wukuf di Arafah dengan hilal. Allah berfirman:
“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya tempat-tempat bagi perjalanan bulan itu supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan”. (QS Yunus 10 : 5)
Allah juga berfirman:
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan haji”. (QS Al Baqarah 2 : 189)
Yakni bulan sabit adalah waktu bagi ibadah kalian dan pertanda yang membuat kalian mengerti tentang puasa, haji dan zakat. Jika ibadah-ibadah ini berhubungan dengan melihat hilal dan masuk serta habisnya bulan, maka kaum muslim diharuskan untuk mencari hilal. Jika mereka semua tidak melakukan hal ini, maka mereka berdosa, sebab wajib hukumnya sesuatu yang tidak sempurna kewajiban, kecuali dengan sesuatu itu.
Di samping itu, keluar untuk ru’yah hilal termasuk syiar agama Islam yang tinggi. Hal itu mendorong umat untuk memperhatikan syiar agama dan kepentingan kaum muslimin. Jika pemerintah beserta aparat terkait keluar beserta para ulama dan hakim serta sebagian kaum muslimin demi melihat hilal, pemandangan itu mendorong umat untuk menolong dan menguatkan agama Islam serta mengagungkan tanda-tanda kebesarannya. Karena itu, perbuatan mulia di atas menjadi motivasi untuk berpegangan teguh dengan agama fitrah Islam. Jika mereka melihat hilal Ramadhan, mereka berpuasa. Jika mereka melihat hilal Syawal, mereka berbuka. Jika mereka melihat hilal Dzulhijjah, mereka wukuf pada hari kesembilan di Arafah. Semua itu merupakan perwujudan perintah Allah dan penghormatan pada syiar-Nya. Allah berfirman:
“Demikianlah. Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati”. (QS Al Hajj 22 : 32)
0 komentar:
Post a Comment