Future Video

Monday, 28 May 2012

Hukuman orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja

Semua umat Islam sepakat bahwa meninggalkan shalat fardlu adalah sebuah dosa yang sangat besar. Dan bahkan dihadapan Allah swt, lebih besar dari dosa membunuh, mengambil harta orang lain, berzina, mencuri dan minum khamr. Dan pelakunya telah berhak mendapatkan siksa, kemarahan serta hinaan dari Allah swt di dunia dan akhirat.
Kemudian para ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum membunuhnya, cara membunuh dan mengenai kekufurannya. Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri, Abu ‘Amr Al-Auza’i, Abdullah bin Mubarak, Hammad bin Zaid, Waki’ bin Al-Jarrah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rohawaih dan para muridnya berfatwa bahwa hukuman bagi orang yang meninggalkan shalat adalah dibunuh.
Kemudian para ulama’ berbeda pendapat mengenai cara membunuhnya. Mayoritas ulama’ berpendapat dengan cara memotong kepalanya menggunakan pedang. Sebagian ulama’ syafi’iyyah berpendapat dengan cara memukulnya menggunakan kayu hingga mati, kecuali dia mau melakukan shalat.
Ibnu Suraij berpendapat, dengan cara menusuknya menggunakan pedang. Karena hal itu dianggap lebih efektif dalam memberikan efek jera.
Mayoritas ulama’ berhujjah menggunakan sabda Nabi saw: “Sesungguhnya Allah mencatat kebaikan dalam segala hal. Maka, jika kalian membunuh hendaklah menggunakan sebaik-baik cara membunuh”. HR. Muslim no.1955. Sedangkan memotong kepala menggunakan pedang dianggap sebagai cara terbaik dan lebih cepat dalam membunuh. Dan Allah pun telah menetapkan membunuh dengan cara memotong kepala sebagai hukuman bagi kaum kafir murtad, bukan dengan cara menusuk menggunakan pedang.
Adapun pemberlakuan hukuman membunuh dengan cara melempari batu hingga mati bagi pelaku zina muhshon agar supaya rasa sakit bisa dirasakan seluruh tubuhnya sebagaimana seluruh tubuhnya merasakan kenikmatan ketika berzina, dan di karenakan cara itu adalah cara terburuk dalam membunuh.

Menurut Ibnu Syihab az-Zuhri, Sa’id Bin al-Musayyab, Umar bin Abdul Aziz, Abu Hanifah, Dawud bin Ali dan al-Muzani, hukuman bagi orang yang meninggalkan shalat ialah di penjara hingga mati atau taubat, bukan dibunuh.
            Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah, Nabi swa bersaba: “Aku diperintahkan untuk memerangi umat manusia, hingga mereka mau bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah. Jika mereka mengucapkannya, maka mereka telah menjaga darah mereka dariku, serta harta benda mereka kecuali dengan hak harta tersebut”. HR. Bukhari no. 1399, Muslim no. 26.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Nabi bersabda: “Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan sesungguhnya aku adalah utusanNya, kecuali dikarenakan salah satu dari tiga hal, yaitu seorang duda/janda yang berzina, membunuh, dan orang yang meninggalkan agama keluar dari kelompoknya.” HR. Bukhari Muslim.
Mereka juga memberikan alasan bahwa shalat merupakan syari’at ‘amaliyyah (pekerjaan), oleh karenanya seseorang tidak dibunuh jika meninggalkannya. Seperti halnya puasa, zakat dan haji.
Ulama’ yang mewajibkan hukuman dibunuh berhujjah dengan firman Allah swt :
“Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan”. (QS. Attaubah:05)
Dalam ayat ini, Allah swt. memerintahkan untuk membunuh mereka (musyrikin) kecuali mereka bertaubat dari kesyirikannya.
Mengenai ayat ini, kelompok ulama’ yang tidak mewajibkan hukuman bunuh berkomentar, jika seseorang taubat dari kesyirikannya, maka hukuman mati telah gugur atas dirinya, meskipun ia tidak melaksanakan shalat dan tidak membayar zakat. Pendapat ini tidak sesuai dengan dhahir al-Qur’an.
Dalam shahih Bukhari hadits no. 4351 dan shahih Muslim hadits no. 1562, hadits dari Abi Sa’id Al-Khudri bercerita : “Ali bin Abi Thalib -ketika ia berada di yaman- mengirimkan batang emas kepada Nabi saw. Lalu Nabi membagikannya kepada empat orang. Kemudian ada seorang laki-laki berkata : “Wahai utusan Allah, takutlah padaNya.”, Nabi menyahuti : “ Celaka kau! Bukankah aku adalah orang yang paling takut kepada Allah?!”. Lelaki itupun pergi. Kemudian sahabat Khalid bin Walid berkata : “Wahai utusan Allah, bolehkah saya memotong kepala lelaki tersebut?” Nabi pun menjawab: “Jangan! Siapa tahu dia masih melaksanakan shalat”. Khalid menjawab: “Bukankah banyak orang yang melaksanakan shalat, sedangkan apa yang diucapkannya berbeda dengan apa yang ada di hatinya?!”. Kemuudian Nabi saw berkata: “Aku tidak diperintahkan untuk meneliti hati manusia dan mengoreksi batin mereka”.
Nabi saw menjadikan shalat sebagai penghalang (mani’) untuk terbunuhnya lelaki tersebut. Oleh sebab itu, dalam hadits lain Nabi saw bersabda : “Aku dilarang untuk membunuh orang-orang yang melaksanakan shakat”. HR. Abu Dawud n0. 4928, At-Thobroni dalam Mu’jam Al-Kabir 1/296. Hadits ini menjelaskan bahwa Allah swt tidak melarang Nabi untuk membunuh selain orang-orang yang mendirikan shalat.
Dalam musnad Ibnu Hanbal 5/432-433 dan musnad As-Syafi’i no. 8, dari hadits Ubaidillah bin ‘Adiy bin Al-Khiyar, ada seorang laki-laki dari kaum Anshar mendatangi Rasulullah pada suatu kesempatan, guna meminta ijin kepada Rasulullah untuk membunuh seorang munafik. Kemudian Nabi mengeraskan suaranya seraya berkata: “Bukankah ia seorang yang bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah?!”, lelaki itu menjawab: “Iya”. Nabi kembali bertanya: “Bukankah ia seorang yang bersaksi Muhammad adalah utusanNya?”. Lelaki itu menjawab: “Iya”. Nabi pun kembali bertanya: “Bukankah ia seorang yang melaksanakan shalat?”, lelaki itu menjawab: “Iya”. Kemudian Nabi berkata: “Mereka adalah orang-orang yang dilarang oleh Allah untuk aku bunuh”.
Hadits ini menjelaskan  Allah tidak melarang Nabi untuk membunuh orang yang tidak melaksanakan shalat.
Dalam shahih Bukhari hadits no. 25 dan shahih Muslim no. 22, dari Abdullah bin Umar bahwasanya Nabi bersabda: “Aku diperintahkan untuk memerangi umat manusia hingga mereka mau bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusanNya, serta  mendirikan shalat dan berzakat. Jika mereka melakukan itu semua, maka mereka telah menjaga darah mereka dariku, serta harta mereka kecuali dengan hak Islam. Dan Allah menaggung hisab mereka”.
Dari hadits ini dapat diambil dua kesimpulan: Pertama, Bahwa Nabi diperintahkan memerangi umat manusia hingga mereka mau shalat. Kedua, lafal “bihaqqihi” (dengan hak Islam). Sedangkan hak Islam yang paling pokok adalah shalat.
Dari Abi Hurairah berkata, Nabi saw bersabda: “Aku diperintahkan untuk memerangi umat manusia, kecuali mereka bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusanNya serta mendirikan shalat dan membayar zakat. Darah dan harta benda mereka haram bagiku dan hisab mereka hanya kepada Allah”. HR. Ahmad dalam musnad 1/145 dan Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya hadits no. 22448. Bahwa diberitahukan kepada Nabi saw untuk memerangi mereka, kecuali mereka mendirikan shalat dan berzakat. Darah dan harta mereka mnjadi haram (bagi Nabi saw) setelah bersyahadat, mendirikan shalat dan berzakat. Maka dari itu, darah dan harta mereka tidak haram sebelum semua itu dilakukan oleh mereka, bahkan mubah.
Dari Anas bin Malik bercerita, setelah Nabi saw wafat bangsa arab banyak yang murtad. Kemudian sahabat Umar berkata: “Wahai Abi Bakar, kenapa engkau memerangi bangsa arab?”, Abu Bakar menjawab: “Rasulullah pernah bersabda: “Aku diperintahkan memerangi umat manusia hingga mereka mau bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan sesungguhnya aku adalah utusanNya serta melaksanakan shalat dan berzakat”. Hr. Annasa’i no. 3969. dan hadits ini shahih.
Kesimpulan secara umum dari hadits-hadits diatas dijadikan dasar hukum oleh ulama’ yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat tidak wajib dibunuh. Tetapi, justru hadits-hadits tersebut menyudutkankan pendapat mereka sendiri. Karena sesungguhnya, hak terjaganya darah dan harta seseorang hanya dengan hak Islam, sedangkan shalat adalah ibadah paling pokok dalam Islam.
Adapun hadits Ibnu Mas’ud yaitu: “Tidak halal darah seorang muslim kecuali disebabkan salah satu dari tiga perkara…”. HR. Bukhari no. 6878 dan Muslim no. 1676, adalah hujjah bagi kita dalam masalah ini. Karena Nabi saw menjadikan orang yang meninggalkan agamanya sebagai orang yang halal darahnya. Sedangkan shalat adalah tiang agama yang paling pokok. Terlebih jika kita mengataknnya sebagai orang kafir yang telah keluar dari agama secara kesuluruhan. Dan jika ia tidak dihukumi kafir, maka ia telah meninggalkan tiang agama.
Imam Ahmad bin Hanbal menuturkan: “Telah datang dalam sebuah hadits, bahwa tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat. Sayyidina Umar pernah menulis surat kepada beberapa wilayah yang berisi; “Sesungguhnya shalat adalah hal terpenting bagi kalian semua. Barangsiapa menjaganya maka ia telah menjaga agamanya. Dan barangsiapa menyia-nyiakanya maka ia akan lebih menyia-nyiakan ibadah selain shalat. Dan tidak ada tempat dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat”. Sayyidina Umar juga berkata: “Setiap orang yang menganggap enteng dan meremehkan perihal shalat, maka ia telah menganggap enteng dan meremehkan agama Islam. Dan sesungguhnya bagian mereka dalam Islam diukur dari bagian mereka dalam shalat. Dan kecintaan mereka terhadap Islam dapat diukur dari kecintaan mereka dalam melaksanakan shalat. Ketahuilah wahai hamba Allah, takutlah jika suatu saat kamu bertemu dengan Allah, sedangkan tidak ada kedudukan sedikitpun bagimu dalam Islam. Karena kedudukan Islam dihatimu diukur dengan kedudukan shalat dihatimu”.
Telah datang sebuah hadits dari Nabi saw, beliau bersabda: “Shalat adalah tiang agama. Apakah kalian tidak tahu jika tiang sebuah tenda roboh, maka tenda sudah pasti roboh. Sedangkan tali dan pasak tenda tidak akan berguna lagi. Dan jika tiang tenda berdiri kokoh, maka tenda pun akan berdiri. Sedangkan tali dan pasak tenda tersebut menjadi berguna. Begitu juga kedudukan shalat dalam Islam.
Dalam sebuah hadits dikatakan: “Pertamakali amal seorang hamba yang akan dipertanyakan dihari kiamat adalah shalat. Jika shalatnya diterima, maka seluruh amalnya akan diterima. Dan jika shalatnya ditolak, maka seluruh amal ibadahnya juga akan ditolak”. Majma’i Az-Zawaid 1/291-292

0 komentar:

Post a Comment

Mobil Bekas
Pasang Iklan Rumah
Kontak Jodoh