Home »
PENDIDIKAN
» Benarkah kita bangsa yang mengidap ADD -- Attention Deficit Disorder?
Benarkah kita bangsa yang mengidap ADD -- Attention Deficit Disorder?
|
Oleh : H mukhlas Yusak |
|
Setelah lama kita terindentifikasi sebagai bangsa yang mengidap
"penyakit kronis" korupsi, kini satu lagi yang tidak kalah kronisnya
menyeruak ke permukaan, yakni kelainan yang dicirikan oleh
ketidak-mampuan memusatkan perhatian, atau dengan kata lain defisit
perhatian, di saat orang seharusnya memasang telinga, berikan perhatian
penuh pada pesan yang disampaikan oleh orang lain. "Penyakit" ini
lazimnya dikenal dengan nama ADD (Attention Deficit Disorder) --
kelainan defisit perhatian.
Betapa tidak? Setidaknya sudah dua
peristiwa Presiden Republik ini harus "menegor" orang-orang yang
berceloteh sendiri-sendiri ketika Presiden, sebagai orang yang
mengundang, sedang memberikan sambutan untuk mereka. Tidakkah sepatutnya
mereka dengan sepenuh hati dan pikiran mendengarkan dan menyerap pesan
orang, yang dalam peristiwa yang terakhir, mengundang mereka justru
dalam menganugerahi penghargaan? Belum lagi yang mengundang sebenarnya
orang nomor satu di negerinya. Di Istana Negara saja, dan yang sedang
menyambut mereka adalah seorang presiden saja orang tidak peduli,
ngobrol sendiri, apalagi di dalam situasi yang tidak seformal pertemuan
di Istana.
Coba kita lihat apa yang terjadi di resepsi-resepsi
pernikahan ketika sang ulama menyampaikan wejangan untuk kedua
mempelai! Tamu undangan tak merasa perlu menyimak, mereka seolah
berlomba bicara, bahkan mempelainya pun bisa jadi ikutan latah.
Jangan-jangan ini semua berawal dari ruang-ruang kelas. Guru asyik
berbicara sendiri sementara sebenarnya siswanya juga asyik dengan diri
mereka sendiri, tak perhatikan pelajaran. Dosen juga dibiarin asyik
berceloteh sendiri oleh mahasiswanya. Jangan-jangan khotib pun tak
pernah didengarkan secara seksama, ditinggal ngantuk jama'ahnya.
Sambutan, pidato, ceramah, kuliah, seminar, konferensi, hanya sekedar
formalitas, esensinya tidak penting. Semua sekedar formalitas. Ujian
nasional, formalitas. Nilainya juga formalitas, hakikat tidak dipandang
penting lagi. Ijazah juga yang penting lembaran yang secara formal sah,
diakui. Mutu lulusan, emangnya gua pikirin?
Tampaknya kita
memerlukan apa yang dikenal dengan "listening pedagogy" -- pedagogi yang
menekankan pentingnya mendengarkan secara tulus dengan semangat untuk
bisa belajar dari orang lain. Siapa pun orangnya. Tidak pilih-pilih.
Tidak pandang bulu. Guru juga harus mau berendah hati untuk dengarkan
siswanya; kepala sekolah, pengawas, kepala dinas, menteri juga sudi
dengarkan gurunya. Bupati, gubernur, presiden mau dengarin keluh-kesah,
tangisan, jeritan, rintihan, derita rakyatnya. Yang tak kalah
pentingnya, kita harus didik peserta didik kita agar jadi orang yang
bisa mendengarkan orang lain dengan sepenuh hati sepenuh pikiran agar
bisa memetik pelajaran dari orang lain semaksimal mungkin. Listening
Pedagogy memang masih barang baru bagi kita, tapi sebaiknya kita mulai.
Semoga!
0 komentar:
Post a Comment