Future Video

Thursday, 7 June 2012

Benarkah kita bangsa yang mengidap ADD -- Attention Deficit Disorder?

Oleh : H mukhlas Yusak
Setelah lama kita terindentifikasi sebagai bangsa yang mengidap "penyakit kronis" korupsi, kini satu lagi yang tidak kalah kronisnya menyeruak ke permukaan, yakni kelainan yang dicirikan oleh ketidak-mampuan memusatkan perhatian, atau dengan kata lain defisit perhatian, di saat orang seharusnya memasang telinga, berikan perhatian penuh pada pesan yang disampaikan oleh orang lain. "Penyakit" ini lazimnya dikenal dengan nama ADD (Attention Deficit Disorder) -- kelainan defisit perhatian.

Betapa tidak? Setidaknya sudah dua peristiwa Presiden Republik ini harus "menegor" orang-orang yang berceloteh sendiri-sendiri ketika Presiden, sebagai orang yang mengundang, sedang memberikan sambutan untuk mereka. Tidakkah sepatutnya mereka dengan sepenuh hati dan pikiran mendengarkan dan menyerap pesan orang, yang dalam peristiwa yang terakhir, mengundang mereka justru dalam menganugerahi penghargaan? Belum lagi yang mengundang sebenarnya orang nomor satu di negerinya. Di Istana Negara saja, dan yang sedang menyambut mereka adalah seorang presiden saja orang tidak peduli, ngobrol sendiri, apalagi di dalam situasi yang tidak seformal pertemuan di Istana.

Coba kita lihat apa yang terjadi di resepsi-resepsi pernikahan ketika sang ulama menyampaikan wejangan untuk kedua mempelai! Tamu undangan tak merasa perlu menyimak, mereka seolah berlomba bicara, bahkan mempelainya pun bisa jadi ikutan latah. Jangan-jangan ini semua berawal dari ruang-ruang kelas. Guru asyik berbicara sendiri sementara sebenarnya siswanya juga asyik dengan diri mereka sendiri, tak perhatikan pelajaran. Dosen juga dibiarin asyik berceloteh sendiri oleh mahasiswanya. Jangan-jangan khotib pun tak pernah didengarkan secara seksama, ditinggal ngantuk jama'ahnya. Sambutan, pidato, ceramah, kuliah, seminar, konferensi, hanya sekedar formalitas, esensinya tidak penting. Semua sekedar formalitas. Ujian nasional, formalitas. Nilainya juga formalitas, hakikat tidak dipandang penting lagi. Ijazah juga yang penting lembaran yang secara formal sah, diakui. Mutu lulusan, emangnya gua pikirin?

Tampaknya kita memerlukan apa yang dikenal dengan "listening pedagogy" -- pedagogi yang menekankan pentingnya mendengarkan secara tulus dengan semangat untuk bisa belajar dari orang lain. Siapa pun orangnya. Tidak pilih-pilih. Tidak pandang bulu. Guru juga harus mau berendah hati untuk dengarkan siswanya; kepala sekolah, pengawas, kepala dinas, menteri juga sudi dengarkan gurunya. Bupati, gubernur, presiden mau dengarin keluh-kesah, tangisan, jeritan, rintihan, derita rakyatnya. Yang tak kalah pentingnya, kita harus didik peserta didik kita agar jadi orang yang bisa mendengarkan orang lain dengan sepenuh hati sepenuh pikiran agar bisa memetik pelajaran dari orang lain semaksimal mungkin. Listening Pedagogy memang masih barang baru bagi kita, tapi sebaiknya kita mulai. Semoga!

0 komentar:

Post a Comment

Mobil Bekas
Pasang Iklan Rumah
Kontak Jodoh