Allah berfirman: “Maka barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrahpun, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula”. (QS Az Zalzalah 99 : 7-8)
Nabi saw bersabda: “Dua kalimat dicintai oleh Ar Rahman, ringan bagi lidah dan berat di timbangan : subhanallahi wa bihamdihi, subhanallahil ‘adhim”. (HR Bukhari 7563, Muslim 2694)
Nabi saw bersabda kepada Abu Musa Al Asy’ari ra: “Apakah tidak aku tunjukkan kepadamu suatu kalimat yang termasuk perbendaharaan surga (atau suatu perbendaharaan di antara perbendaharaan surga)?” Abu Musa menjawab: “Ya”. Nabi bersabda: “La haula wala quwwata illa billah”. (HR Muslim 2704, 3684)
Dalam sebuah kesempatan, Nabi keluar meninggalkan Umil Mukminin Juwairiyah ra setelah shalat subuh. Juwairiyah saat itu berada di masjidnya. Kemudian Nabi kembali setelah hari terang, sementara Juwairiyah masih duduk di tempatnya semula. Nabi bertanya: “Apakah hari ini kamu selalu dalam keadaan seperti saat aku meninggalkanmu?” Juwairiyah menjawab: “Ya”. Nabi bersabda: “Sungguh setelah kamu, aku mengucapkan empat kalimat tiga kali yang seandainya ditimbang dengan apa yang kamu ucapkan hari ini, maka lebih berat : maha suci Allah dan dengan memuji-Nya sebanyak makhluk-Nya, seridha zat-Nya, seberat arasy-Nya dan setinta kalimat-kalimat-Nya”. (QS Muslim 2726 dari Juwairiyah ra)
Dikisahkan bahwa seorang pertapa di antara Bani Israel beribadah menyembah Allah di suraunya selama enam puluh tahun. Suatu hari, langit menurunkan hujan dan bumi menghijau subur. Sang pertapa melihat keluar suraunya dan berkata: “Jika aku keluar untuk melihat-lihat, aku bisa bertambah pahala dengan dzikir kepada Allah”. Tak lama kemudian, dia keluar dari suraunya sambil membawa satu atau dua buah roti. Ketika dalam perjalanan, dia bertemu dengan seorang wanita. Mereka berdua senantiasa berbincang-bincang lama, sampai mereka terjerumus melakukan perbuatan zina. Setelah melakukan perbuatan terkutuk itu, sang pertapa jatuh pingsan. Tak lama kemudian, dia siuman dan menuju ke sebuah empang untuk membersihkan diri. Kemudian datanglah seorang pengemis dan diberi satu roti oleh si pertapa.
Nabi saw bersabda: “Dua kalimat dicintai oleh Ar Rahman, ringan bagi lidah dan berat di timbangan : subhanallahi wa bihamdihi, subhanallahil ‘adhim”. (HR Bukhari 7563, Muslim 2694)
Nabi saw bersabda kepada Abu Musa Al Asy’ari ra: “Apakah tidak aku tunjukkan kepadamu suatu kalimat yang termasuk perbendaharaan surga (atau suatu perbendaharaan di antara perbendaharaan surga)?” Abu Musa menjawab: “Ya”. Nabi bersabda: “La haula wala quwwata illa billah”. (HR Muslim 2704, 3684)
Dalam sebuah kesempatan, Nabi keluar meninggalkan Umil Mukminin Juwairiyah ra setelah shalat subuh. Juwairiyah saat itu berada di masjidnya. Kemudian Nabi kembali setelah hari terang, sementara Juwairiyah masih duduk di tempatnya semula. Nabi bertanya: “Apakah hari ini kamu selalu dalam keadaan seperti saat aku meninggalkanmu?” Juwairiyah menjawab: “Ya”. Nabi bersabda: “Sungguh setelah kamu, aku mengucapkan empat kalimat tiga kali yang seandainya ditimbang dengan apa yang kamu ucapkan hari ini, maka lebih berat : maha suci Allah dan dengan memuji-Nya sebanyak makhluk-Nya, seridha zat-Nya, seberat arasy-Nya dan setinta kalimat-kalimat-Nya”. (QS Muslim 2726 dari Juwairiyah ra)
Dikisahkan bahwa seorang pertapa di antara Bani Israel beribadah menyembah Allah di suraunya selama enam puluh tahun. Suatu hari, langit menurunkan hujan dan bumi menghijau subur. Sang pertapa melihat keluar suraunya dan berkata: “Jika aku keluar untuk melihat-lihat, aku bisa bertambah pahala dengan dzikir kepada Allah”. Tak lama kemudian, dia keluar dari suraunya sambil membawa satu atau dua buah roti. Ketika dalam perjalanan, dia bertemu dengan seorang wanita. Mereka berdua senantiasa berbincang-bincang lama, sampai mereka terjerumus melakukan perbuatan zina. Setelah melakukan perbuatan terkutuk itu, sang pertapa jatuh pingsan. Tak lama kemudian, dia siuman dan menuju ke sebuah empang untuk membersihkan diri. Kemudian datanglah seorang pengemis dan diberi satu roti oleh si pertapa.
Tak lma kemudian, pertapa itu meninggal dunia. Setelah ditimbang, ibadahnya selama enam puluh tahun kalah oleh dosa zinanya. Namun ketika roti yang dia berikan kepada pengemis diikut sertakan, maka ibadahnya lebih unggul, sehingga dia diberi ampunan. (HR Ibnu Hibban 5/335)
0 komentar:
Post a Comment