Beberapa hari yang lalu, tepatnya pada hari Kamis-Jum’at, 15-16 Juli 2010 tepat pada saat yaumirrashdil kiblat (hari di mana matahari tepat di atas ka’bah, sehingga bayangan matahari menunjukkan arah kiblat), Tim Hisab Rukyah Jawa Tengah, di antaranya penulis dan KH Drs. Slamet Hambali bersama Badan Hisab Rukyah Daerah Demak melakukan pengukuran kembali arah kiblat masjid Agung Demak, dengan disaksikan para kyai takmir masjid Agung Demak termasuk Ketua Umum takmir KH. Drs. Muhammad Asyik yang ketepatan juga wakil bupati Demak. Dengan berbagai metode yakni penentuan utara sejati dengan bayangan matahari, menggunakan 3 buah teodolite dan GPS, serta metode rashdil kiblat yakni pukul 16. 27 wib pada hari itu, dihasilkan data yang sama bahwa posisi masjid Agung Demak dengan data lintang 60 53’ 40.3” LS, bujur 1100 38’ 15.3 BT, arah kiblatnya adalah 2940 25’ 39.4” UTSB atau 240 25’ 39.4” dari arah barat ke utara. Dengan data arah tersebut, berarti keberadaan shaf kiblat masjid Agung Demak kurang 120 1’ ke arah utara.
Hasil pengukuran ini telah dilakukan sosialisasi kepada para kyai dan ulama se-kabupaten Demak pada hari Jum’at, 23 Juli 2010 jam 14.00 wib, dengan mengundang 150 kyai dan juga dihadiri Bupati Demak Drs. H. Taftazani, MM, KH Drs. Muhammad Asyik (Ketua Umum Takmir Masjid Agung Demak, yang sekaligus Wakil Bupati Demak), Sekda Kabupaten Demak dan juga Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Demak. Dengan penjelasan tehnis pengukuran oleh penulis dan KH. Drs. Slamet Hambali dengan dukungan logika KH. Drs. Muhammad Asyik dan Bupati Demak Drs. H. Taftazani, MM dengan menyatakan al-muhafadah ala qadim al-shalih, wal ahdu bi al-jadid al-ashlah, pengukuran kembali arah kiblat masjid Agung Demak diterima dengan baik oleh para kyai, dengan cukup merubah shaf shalat dalam masjid Agung Demak tersebut.
Sejarah Kiblat Masjid Agung Demak
Merujuk pada opini Noviyanto Aji, 24 Mei 2010, masjid Agung Demak merupakan masjid tiban atau masjid warisan langit. Mulanya tak ada yang tahu masjid itu berasal. Penduduk tiba-tiba menemukan sebuah masjid sederhana di atas bukit Candi Ketilang, masuk Kabupaten Purwodadi Grobogan masa kini. Kemudian beberapa waktu kemudian bangunan itu pindah, bergeser sejauh dua kilometer ke sebuah dukuh bernama Kondowo, dan akhirnya masjid ini pindah lagi sejauh satu kilometer ke Desa Terkesi, Kecamatan Klambu.
Cerita yang dongeng ini, oleh penduduk setempat masjid itu diberi nama masjid tiban artinya masjid yang jatuh dari langit. Namun setelah diteliti semuanya berawal dari masa pembangunan masjid di Glagah Wangi, yang kemudian menjadi semacam tonggak bagi sejarah masjid di pulau Jawa. Sebab Glagah Wangi itulah yang kemudian dikenal sebagai Demak, dan masjid yang dibangun itu adalah masjid Agung Demak.Ketika para wali memutuskan masjid harus dibangun dari kayu jati, diketahui di sekitar Glagah Wangi tak terdapat hutan jati yang cukup untuk memenuhi kebutuhan bangunan. Lalu diputuskan mengambil kayu jati dari daerah Klambu, masuk kawasan Purwodadi tadi. Pada masa itu kawasan tersebut belum berpenduduk. Para penebang yang dikirim dari Demak lalu mendirikan masjid sederhana di tengah hutan jati untuk tempat beribadah mereka. Setelah penebangan yang memakan waktu berbulan-bulan selesai, mereka pun balik ke Demak dan meninggalkan sebuah masjid di tengah hutan. Masjid inilah yang kemudian ditemukan penduduk dan menganggap masjid itu tiban atau “jatuh dari langit”. Soal berpindah-pindah sang masjid memang lebih menyerupai dongeng ketimbang urutan kronologis sejarah. Tetapi, ada satu benang merah di sini, bahwa sejarah masjid-masjid purba di Jawa dan Nusantara tak jarang melibatkan misteri dan kekeramatan.
Saat itu sidang para wali yang dipimpin Sunan Giri memanas. Terjadilah silang pendapat untuk menentukan arah kiblat dalam pembangunan Masjid Agung Demak. Sampai menjelang shalat Jumat tak ada kata sepakat. Sunan Kalijaga tampil melerai dengan menunjukkan arah kiblat antara Demak dan Mekkan secara ainul yaqin. Merujuk opini Noviyanto Aji, 24 Mei 2010, bahwa sebagaimana dalam Babad Demak dan kitab Walisanga karya Sunan Giri II, menurut sahibul kisah, Sunan Kalijaga berdiri tegak menghadap ke selatan, tangan kanannya memegang Ka’bah di Masjidil Haram, dan yang kiri memegang makuta. Kemudian masjid Agung Demak diluruskan arahnya dengan membentangkan kedua tangannya. Para wali lainnya; Sunan Gunung Jati, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Derajat, dan Sunan Gresik, memandang takjub. Dengan cara itulah, konon, kiblat Masjid Agung Demak dibakukan, dan pembangunan pun dimulai. Hikayat ini menambahkan kadar karisma pada masjid bersejarah itu.
Kiblat Masjid Demak
Sungguh luar biasa di zaman yang belum ada tehnologi, belum ada kompas, belum ada alat ukur, Sunan Kalijaga sudah dapat mengarah kiblat dengan baik. Dengan kewaliannya beliau memperhitungkan arah kiblat masjid Agung Demak. Dari sejarah itu menunjukkan bahwa sebenarnya begitu perlunya melakukan pengukuran terlebih dahulu dalam penentuan arah kiblat masjid. Oleh karena itu pengukuran arah kiblat sangat perlu dilakukan. Kemudian mengenai arah kiblat masjid Agung Demak yang sekarang setelah diukur kembali dengan berbagai metode ada kekurangan 12 derajat 1 menit ke arah utara, kiranya hal yang tetap harus kita apresiasi dan hormat ta’dhim dengan keberadaan arah kiblat masjid Agung Demak tersebut. Mengingat masjid Agung Demak yang dibangun dan diarahkan pada zaman yang belum ada tehnologi, dengan kewalian Sunan Kalijaga, arah kiblat masjid Agung Demak sudah mengarah barat laut, dalam artian tidak keliru arah, adalah hal yang luar biasa.
Namun demikian, karena sekarang ada tehnologi yang bisa mengarahkan kiblat dengan lebih mengarah, kiranya suatu langkah yang bijaksana manakala arah kiblat masjid Agung Demak diarahkan kembali mengarah benar-benar ke kiblat. Oleh karena itu dengan berbagai metode yakni penentuan utara sejati dengan bayangan matahari, menggunakan 3 buah teodolite dan GPS, serta metode rashdil kiblat yakni pukul 16. 27 wib pada hari itu, dihasilkan data yang sama bahwa posisi masjid Agung Demak dengan data lintang 60 53’ 40.3” LS, bujur 1100 38’ 15.3 BT, arah kiblatnya adalah 2940 25’ 39.4” UTSB atau 240 25’ 39.4” dari arah barat ke utara, yang berarti keberadaan shaf kiblat masjid Agung Demak kurang 120 1’ ke arah utara.
Melihat data tersebut, KH Drs. Muhammad Asyik, Ketua umum Takmir Masjid Agung Demak yang sekaligus Wakil Bupati Demak meyakini bahwa seandainya mbah kanjeng Sunan Kalijaga masih sugeng (hidup), beliau dengan bijaksana akan menerima pelurusan shaf shalat masjid Agung Demak ini. Semoga pelurusan shaf ini menambah kekhusukan ibadah di masjid Agung Demak, amin ya rabbal alamin.
Oleh H. Ahmad Izzuddin, M.Ag
Ketua Umum Asosiasi Dosen Falak Indonesia
Kandidat Doktor PPS IAIN Walisongo
Staf Ahli Badan Hisab Rukyah Kemenag RI
Izzuddin_2008@yahoo.com
0 komentar:
Post a Comment