A. Pengertian
Wali-wali Allah SWT adalah orang-orang saleh yang telah dekat kepada Allah SWT dan telah ‘arif billah sesuai dengan ketaatannya yang terus menerus kepada Allah dan dengan konsekuen meninggalkan segala bentuk maksiat yang bergelimang dengan hawa nafsu. Mereka adalah orang- orang yang selalu menyibukkan diri dengan zikrullah sesuai dengan sabda Rasul,
Artinya : “Beruntunglah orang-orang yang sendirian”. Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah Al Mufarridun (orang-orang yang sendirian) itu ya Rasulullah ?. Jawab Rasulullah, “Mereka adalah orang-orang yang menyendiri dan menyibukkan diri dengan zikir kepada Allah SWT. Karena zikir itu akan menghapuskan dosa-dosa mereka, maka mereka akan datang pada hari kiamat nanti dengan dosa yang ringan/sedikit (H.R. Tarmizi).
Keramat adalah sesuatu yang Kharikul’adah yang dianugerahkan Allah SWT kepada wali-wali- Nya sebagai suatu tingkat keistimewaan bagi mereka. Para wali-wali Allah yang telah mujahadah, bersungguh-sungguh dan terus menerus mendekatkan diri kepada Allah guna mendapatkan ridla- Nya, melaksanakan ibadat seimbang antara syariat dan hakikat, antara syariat lahir yang disertai dengan keihklasan batin lillahi ta’ala. Prof. Dr. Hamka mengatakan, “Tetapi orang-orang yang dianugerahi keistimewaan itu bukanlah terdiri dari manusia luar biasa. Segala orang, pendeknya segala kita, sanggup mencapai derajat waliullah itu, asal dipenuhi syaratnya.
Firman Allah SWT,
Artinya : “Sesungguhnya orany yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa.” (Q.S. Al Hujurat 49 : 13).
Kalimat akrama (paling mulia) diambil dari karama (kaf, raa dan mim), dan dari sini diambil kata keramat.
Oleh sebab itu maka orang-orang yang saleh itu tidaklah perlu mempelajari sihir atau ilmu-ilmu ganjil pemagar diri, dan tidak perlu mempercayai tukang-tukang tenung dan ramal, mengetahui nasib. Dia telah beroleh yang lebih dari itu, yaitu anugerah Tuhan, karena dia dekat dengan Tuhan. Dengan jalan mensuci-bersihkan jiwa daripada perangai-perangai yang tercela.” (Hamka ,1984 : 115).
Al Kharraz berkata, “Jika Allah berkehendak mengangkat salah seorang hamba-Nya menjadi wali, maka Dia akan membuka baginya pintu gerbang zikir kepada-Nya. Jika dia telah merasakan manisnya zikir, maka Dia akan membukakan baginya pintu kedekatan. Kemudian diangkat-Nya dia ke kelompok yang akrab dengan-Nya. Kemudian ditempatkan-Nya dia di atas tahta tauhid. Kemudian diangkat-Nya tabir yang menghalanginya dan dibimbing-Nya dia ke Rumah Kesatuan dan mengungkapkan baginya kecemerlangan dan keagungan Ilahi. Manakala matanya memandang kecemerlangan dan keagungan Ilahi, maka tak ada sesuatu pun dari dirinya yang akan tertinggal. Pada saat itulah si hamba untuk sesaat sama sekali lenyap. Setelah itu dia akan berada di dalam perlindungan Allah, bebas dari pretensi apa pun mengenai dirinya sendiri” (Al Qusyayri 1994 : 270).
Al Qusyayri dalam ‘Risalah Sufi’nya mengatakan bahwa kata “Wali“(orang suci) mempunyai dua arti. Yang pertama berasal dari pola fa’il (pelaku) dalam artian pasif. Artinya Allah SWT mengambil alih urusan Insan (yatawalla) Si Wali. SebagaimanaAllah SWT berfirman “… dan Dia mengambil alih urusan (yatawalla) orang-orang Saleh” (Q.S. Al A’raf 7 : 196). Arti yang kedua berasal dari pola fa’il dalam pengertian intensif aktif. Ini berlaku pada orang-orang yang secara aktif melaksanakan ibadat kepada Allah SWT dan mematuhi-Nya sedemikian rupa hingga amal ibadatnya terus menerus bersusulan tanpa diselingi kemaksiatan. Kedua arti ini mesti ada pada seorang wali untuk bisa dianggap sebagai wali sejati (Al Qusyayri 1994 : .265-266).
Seorang wali bukanlah seorang yang maksum sebagaimana halnya Nabi dan Rasul Allah SWT. Maksum artinya terpelihara dari berbuat dosa besar maupun kecil selama-lamanya. Seorang wali adalah seorang yang Mahfuz, artinya terpelihara dari berbuat dosa besar, tapi tidak terpelihara dari dosa kecil. Kalaupun seorang wali berbuat dosa kecil, maka segera dia akan menyesal dan taubat dengan taubat nashuha dan sadarlah dia akan kelemahan dirinya.
B. Dasar Hukum
Ketetapan adanya wali-wali Allah SWT itu berdasarkan Al Quran dan Al Hadis.
1). Wali
Firman Allah SWT,
Artinya : Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (Q.S. Yunus 10 : 62).
Firman Allah SWT,
Artinya : Karena sesungguhnya pelindungku ialah Allah yang telah menurunkan Al Kitab (al Quran) dan dia melindungi orang-orang yang saleh (Q.S. Al ‘Araf 7 : 196)
Sabda Rasulullah SAW :
Artinya : Sesungguhnya ada beberapa hamba Allah SWT di mana para Nabi dan syuhada jatuh cinta dan iri kepada mereka (ingin seperti mereka). Para sahabat bertanya : Siapakah mereka itu wahai Rasulullah ? Sebab mudah-mudahan kami ingin pula seperti mereka. Jawab Rasul, “ Mereka itu adalah kaum yang berkasih sayang atas dasar Nur Allah SWT, bukan atas dasar harta dan keturunan. Muka mereka bercahaya dan mereka berada di mimbar-mimbar berdasarkan Nur Allah, mereka tidak takut pada waktu manusia yang lain takut dan mereka tidak bersedih hati pada waktu manusia yang lain bersedih.” (H.R. An Nasai dan Ibnu Hibban).
Hadis Qudsi yang diriwayatkan oleh Bukhari :
Artinya : Sesungguhnya Allah SWT berfirman “Barang siapa yang memusuhi seorang penolong-Ku (wali-Ku), maka Aku mengumumkan perang kepadanya. Dan apabila hamba-hamba-Ku menghampirkan diri kepada-Ku dengan sesuatu amalan, tanda lebih kasih ia kepada-Ku, daripada hanya sekedar mengamalkan apa-apa yang telah Ku-wajibkan atasnya, kemudian ia terus menerus mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan amalan-amalan yang nawafil (yang baik) hingga Aku mencintainya, maka apabila Aku telah mencintainya, adalah Aku pendengarannya bila ia mendengar dan Akulah penglihatannya bila ia melihat dan Aku kakinya bila ia berjalan, jika ia memohon niscaya Aku perkenankan permohonannya, jika ia meminta perlindungan pastilah Aku lindungi dia.”(H.R. Al Bukhari).
Itulah dasar hukum adanya wali.
2). Keramat
Adapun dasar hukum adanya kekeramatan para wali didasarkan kepada dalil naqli maupun aqli.
(1). Dalil Aqli
Kalau jaiz (boleh), apabila Allah SWT dapat memberikan mukjizat kepada para Nabi dan Rasul- Nya untuk pembuktian kebenaran mereka sebagai Nabi dan Rasul Allah, maka dapat pulalah bagi Allah memberikan keramat kepada hamba-hamba-Nya yang saleh yang berkualitas sebagai wali- wali Allah. Kekeramatan itu terlihat dan muncul pada masa hidup mereka dan berkelanjutan sampai dengan mereka telah meninggal. Begitulah pendapat para jumhur dan ahlus sunnah dan tidak ada satu mazhab pun dari mazhab yang empat yang mengatakan bahwa tidak ada lagi kekeramatan itu setelah mereka meninggal. Bahkan mereka mengatakan kekeramatan para wali setelah meninggal lebih aula (utama) dari kekeramatan pada waktu mereka masih hidup, karena mereka pada waktu itu suci dari kotoran-kotoran dunia. Disebutkan orang, bahwa yang tidak nampak kekeramatannya setelah ia meninggal, maka kekeramatan-kekeramatan yang dinampakkan pada waktu hidup adalah kekeramatan yang tidak benar atau dusta. Sebagian ahli sufi mengatakan bahwa sesungguhnya Allah mewakilkan beberapa malaikat di makam para wali untuk memenuhi hajat orang yang memintanya dan kadang-kadang wali itu sendiri muncul memenuhi hajat orang yang berkehendak itu (Amin Al Kurdi 1994 : 367).
(2). Dalil Naqli
Sebagian dari dalil naqli dijumpai beberapa kisah-kisah dalam Al Qur’an dan Al Hadis, antara lain,
- Kisah Maryam yang melahirkan Isa tanpa suami.
Firman Allah SWT,
Artinya : “Ia (Jibril) berkata sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci. Maryam berkata, “Bagaimana akan ada bagiku seorang anak- anak laki-laki, sedangkan tidak pernah seorang manusia pun menyentuhku, dan aku bukan pula seoran pezina.” Jibril berkata, “Demikianlah Tuhanmu berfirman, “Hal itu adalah mudah bagi-Ku, dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami, dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan.” Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. (Q.S. Maryam 19:19-22).
- Kisah pemeliharaan Zakaria terhadap Maryam.
Firman Allah SWT,
Artinya : Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di Mihrab, ia dapati makanan disisinya. Zakaria berkata, “Hai Maryam, darimana kamu memperoleh (makanan) ini ?” Maryam menjawab, “Makanan itu dari sisi Allah.” Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki- Nya tanpa hisab.” (Q.S. Ali Imran 3 : 37).
Maryam berada di Mihrab itu sendirian dan kunci pintunya dipegang oleh Zakaria sendiri. Anehnya lagi, buah-buahan musim kemarau didapati pada musim penghujan dan sebaliknya (Amin Al Kurdi 1994 : 366 – 367).
- Kisah Ashabul Kahfi. Mereka adalah jama’ah kaum muslimin yang lari dari tentara Rumawi. untuk menyelamatkan keyakinannya dan bertapa di dalam sebuah gua dengan tidak makan dan minum selama 309 tahun.
Firman Allah SWT,
Artinya : Dan mereka tinggal dalam gua mereka 300 tahun dan ditambah 9 tahun (lagi). (Q.S. Al Kahfi 18 : 25).
- Kisah Asif, seorang wazir atau menteri Nabi Sulaiman a.s. mengenai istana Ratu Balqis, yang diangkat dan dipindahkan oleh tentaranya orang-orang halus dari Yaman ke dalam kerajaan Nabi Sulaiman dalam waktu sekejap mata.
Firman Allah SWT,
Artinya : Berkatalah Sulaiman, “Hai pembesar-pembesar, siapakah diantara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang- orang yang berserah diri. Berkata ‘Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin, “Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya (lagi) dapat dipercaya. Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab, “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata, “Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya).” (Q.S. An Naml 27 : 38 – 40).
Yang dimaksud dengan seseorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab pada ayat di atas adalah wazir Nabi Sulaiman yang bernama Asif. Dengan kekeramatannya dapat memindahkan istana Balqis dari negeri Saba’ ke Kerajaan Sulaiman dalam sekejap mata. Jarak antara istana Balqis dengan istana Sulaiman adalah dua bulan perjalanan. Pemindahan istana tersebut dalam sekejap mata dilaksanakan oleh para malaikat dengan izin Allah yang berasal dari kudrat dan iradat-Nya sendiri.
Sungguh amat banyak sekali kalau kita mau menceritakan tentang keramat-keramat para wali pada zaman dahulu yang tertera di dalam Al Quranul karim ataupun Sunnah Rasul.
Adapun keramat-keramat para wali setelah itu tidak kurang banyaknya yang diceritakan pada buku-buku tasawuf, antara lain umpamanya kekeramatan :
- Rabi’atul Adawiyah yang mendapatkan beberapa uang emas di bawah tikar shalatnya, memasak nasi tanpa memakai api dan sebagainya ;
- Ibrahim Khurasani yang pada suatu hari sedang berwudhu medapati dengan tiba-tiba embernya tiba-tiba berubah menjadi permata, siwak giginya menjadi perak dan ujungnya lembut bagaikan benang sutra ;
- Sufi Saramqani mendapati roti dengan ayam panggang serta manisan gula di tempat shalatnya sedang langgarnya terkunci rapat ;
- Prof. Dr. H. Kadirun Yahya MSc menggali kedahsyatan dan kehebatan Al Quranul Karim dengan metode zikrullah yang disalurkan melalui batu tawajuh dan air tawajuh untuk memadamkan letusan kawah Gunung Galunggung pada tahun 1982, menumpas komunis di perbatasan negara tetangga pada tahun 1974, memadamkan huru hara antara negara bagian dengan ibu negara tetangga pada tahun 1977, menjinakkan badai dan ombak yang sangat dahsyat dengan seketika di Samudera Indonesia dekat pulau Nias pada tahun 1981, dapat menyelamatkan 156 orang pasukan yang dipimpin oleh Letkol (marinir) Bahder Djohan dalam operasi di Timor-Timur pada tahun 1982, pernah menghidupkan berpuluh-puluh orang mati dalam waktu yang relatif singkat dan masih banyak lagi yang kalau diterangkan di sini merupakan rangkaian daftar yang panjang sekali. Atas prestasi Ucapan terima kasih dan penghargaan telah banyak disampaikan kepada beliau, baik perorangan maupun pemerintah.
Selain itu beliau pun telah berhasil menyembuhkan beberapa penyakit yang sebahagiannya tidak mungkin lagi disembuhkan oleh dokter dan sebahagian lainnya belum pernah disembuhkan oleh dokter medis, dapat disembuhkan oleh beliau dengan izin Allah SWT melalui metode kedahsyatan dan kehebatan Al Quranul karim yang disalurkan melalui salurannya yang hak yang mendapatkan enerji dan power serta frekuensi tak terhingga ( ) dari Allah SWT. Demikian pula telah beribu-ribu orang yang disembuhkan melalui metode ini dan seluruhnya ada bukti-bukti tertulis berbentuk surat ucapan terima kasih, surat penghargaan dan sebagainya dari mereka-mereka yang telah mendapat pertolongan . Macam-macam penyakit itu antara lain :’liver abscess’, ‘lung abscess’, narkotika, cancer, cancer kulit, cancer payudara, hemarrhoide (wasir), jantung, tumor, batu empedu, pankreas dan lever, frostad, AIDS, menstruasi bulanan yang tidak pernah berhenti selama 8 tahun dan bahkan banyak sekali penyakit aneh dan ganjil yang tidak dapat disembuhkan secara medis. (Kadirun Yahya 1991 : 10 – 57).
C. Menzahirkan kekeramatan
Ada orang bertanya apakah keramat itu sama dengan sihir atau sama dengan mukjizat, dan apa pula perbedaan di antaranya. Perbedaan antara keramat dengan sihir adalah sihir itu terjadi di kalangan orang-orang fasik, orang-orang zindik dan orang-orang kafir yang tidak percaya kepada agama Allah SWT. Keramat terjadi pada orang-orang yang percaya pada Allah dan sungguh- sungguh mengerjakan syariat-Nya dan dengan mujahadah yang kuat sehingga sampai kepada derajat wali.
Adapun perbedaan antara keramat dengan mukjizat bahwa keramat itu terjadi pada wali-wali Allah yang tidak menyatakan dirinya sebagai Nabi atau Rasul. Mukjizat terjadi pada Nabi-Nabi atau Rasul Allah sebagai pembuktian atas kebenaran kenabian dan kerasulannya. Karena itu mukjizat wajib dinampakkan untuk keperluan dakwah dan dakwah dengan pembuktian mukjizat itu adalah akurat, sangat dibutuhkan.
Seorang wali tidak wajib menzahirkan kekeramatannya, sebab ketentuan-ketentuan syariat agama telah tetap sesuai dengan yang disampaikan oleh para Nabi dan Rasul Allah SWT. Oleh sebab itu menzahirkan atau menyembunyikan kekeramatan boleh-boleh saja.
Di kalangan para Syekh sufi terdapat dua pendapat dalam masalah ini. Pendapat yang pertama mengatakan sebaiknya para wali menyembunyikan kekeramatannya, sebab tidak ada kebutuhan dakwah untuk menampakkannya dan bisa juga menimbulkan fitnah atau ria yang bisa merusak kesucian rohani si wali itu sendiri. Para wali yang berpendapat demikian merasa takut kalau-kalau kekeramatan yang dia peroleh merupakan istidraj atau pemanjaan, karena kebencian, yang akan menjerumuskan sang wali. Yang berpendapat dengan pendapat pertama ini antara lain imam Abu Bakar bin Abu Fura..
Syekh Abu Yazid Al Bustami mengatakan wali-wali Allah adalah pengantin-pengantin-Nya. Karena itu tak seorangpun boleh melihat para pengantin itu kecuali keluarganya. Mereka ditabiri dalam ruang khusus di hadirat-Nya oleh keakraban.
Abu Bakar as Saydalani menuturkan, suatu ketika aku berulang kali memperbaiki batu nisan makam Abu Bakar at Tamastani dan mengukir namanya pada nisan itu. Setiap kali aku selesai memperbaikinya, batu nisan itu digali dan dicuri orang dan akhirnya aku bertanya kepada Abu ‘Ali ad-Daqqaq tentang hal ini. Dia menjelaskan bahwa syekh itu lebih suka tidak dikenal orang di dunia ini. Karena itu tidak suka juga dengan batu nisan yang berarti mempromosikan kenangan kepadanya.
Rabi’atul Adawiyah tidak mengizinkan orang lain masuk ke dalam kamar khalwatnya, karena beliau tidak ingin orang lain menceritakan tentang keadaannya seperti beroleh emas di bawah tikar shalatnya atau menanak nasi dengan tidak memakai api. Demikian diceritakan oleh Zulfah kemenakan Rabi’atul Adawiyah.
Pendapat yang kedua mengatakan boleh saja seorang wali itu menzahirkan kekeramatannya, apalagi kalau dirasakan hal itu perlu untuk kepentingan dakwah dan tentunya wali tersebut tidak menimbulkan takabur atau ria dengan menzahirkan kekeramatannya itu. Abu Usman mengatakan, “Seorang wali mungkin termasyur kemana-mana, namun dia tidak akan tergoda oleh kemasyurannya itu.”
Prof. Dr. H. Kadirun Yahya mengatakan, pada zaman sekarang ini dirasakan perlu pada suatu saat menampakkan kekeramatan itu dalam rangka menangkis tuduhan atau pendapat bahwa agama itu adalah hayalan belaka dan tak dapat dibuktikan. Seperti menangkis pendapat Salman Rusdi dengan ‘Ayat-Ayat Syetan’ (“The Satanic Verses”)nya
0 komentar:
Post a Comment