Future Video

Wednesday, 28 April 2010

Apakah islam membutuhkan Tashawwuf?

Pernyatan kaum muslimin bahwa kalimat tashawwuf tidak dikenal kecuali setelah qurun ketiga hijriah, benarkah?
[A] Apakah islam membutuhkan Tashawwuf?
[B] Apakah tashawwuf sesuatu yang baru (bid'ah) yang disandarkan pada islam?
[C] Apa perbedaan antara zuhud di dalam islam dan tashawwuf?
Saudaraku... apabila anda mendapati orang yang mengatakan bahwa tashawwuf merupakan perkara baru yang diketahui setelah qurun ketiga hijriah, maka ketahuilah bahwa itu hanya perkiraan yang berlebihan dan tidak ilmiah, tidak ada kekuatan sejarah serta ketidak adaan sanad ucapannya, apabila yang mereka maksudkan adalah lafad tashawwuf yang tidak dikenal dalam islam kcuali setelah qurun ketiga, maka ini juga perkataan yang tidak dapat dibenarkan (ini hanya ucapannya Syaikhul Islam Ibnu Taimiah -rahimahullah- di dalam kitabnya “as shufiah wal fuqara” beliau mengatakan: adapun lafad shufiy itu tidak dikenal kecuali setelah qurun ketiga hijriah.) namun kenyataannya telah dinukil perkataan dengan lafad itu bukan hanya oleh seorang imam saja, tapi banyak, seperti Imam Ahmad Bin Hambal, Abu Sulaiman Ad darani, Sufyan As sauri, Hasan Al basri dan lain sebagainya. Ini menunjukkan lafad tashawwuf sudah dikenal mulai akhir qurun pertama.

Sungguh para pakar sejarah dan sastra bahasa telah menetapkan bahwa lafad “tashawwuf”itu muncul disaat masyhurnya kekerasan dan kejantanan (kepahlawanan) dan saat masyhurnya pakaian dari bulu kibasy wol dan persiapan dalam berjihad, maka sesungguhnya bertashawwufnya seorang muslim merupakan dakwah terhadap kekuatan, kemerdekaan, persamaan, penjaminan hak harta dan jiwa, mempersatukan dalam persaudaraan, penegakkan tauhid dan dalam perkara perkara yang mulia dalam pembentukan pribadi muslim yang sempurna, dan keberadaan masa pembukuan kitab-kitab hadits pada masa Rosulullah dan terus berkembang berlanjut pada akhir qurun pertama dan awal qurun kedua dalam pembukuan hadits, fiqih, tafsir, sastra dan gramatika bahasa, saat saat itulah telah terkenal dan maasyhur lafad tashawwuf dikalangan umat islam.

Namun jika yang dimaksud bukan lafadnya, yaitu materinya tashawwuf, hakikat, usul, dan sumber pembahasaanya tidak dikenal kecuali setelah qurun itu (3 Hijriah) maka kesalahan ucapan itu sungguh nyata, ketahuilah materi tashawwuf itu dari segi ibadah dan adab (secara keumumam ma'na ibadah dan adab budi pekerti) itu sangat nyata ada di dalam al quran dan al hadits, yaitu peranan sebagian kandungan ilmu agama, dan jika lafad tashawwuf tidak terdapat pada masa masa ini (akhir qurun pertama dan awal qurun kedua) maka ibadah, adab, pendidikan batiniah, perantara-perantara yang dapat menghubungkan hamba pada Allah, dan terangkatnya nilai martabat manusia semua ini telah termaktub dalam syari'at Allah, dan itulah tashawwuf (dinamai demikian oleh muslimin) maka kita temukan hanya sebuah nama yang baru dengan materi yang lama dan ilmu baku dalam alquran dan sunnah, yang mana peran ilmu agama yang satu sama lainnya mempunyai kesamaan.

Maka ketahuilah wahai saudaraku, bukanlah ini merupakan bid'ah sebagaimana yang dilontarkan oleh segelintir orang zaman sekarang, sebagai perbandingan, bahwa pada masa masa ini juga tidak dikenal atau disebut-sebut adanya ilmu fiqih, ilmu usul fiqih, mustholahul hadits, nahwu, sorrof dan lain sebagainya dari khazanah ilmu agama, akan tetapi materi dari kesemua itu telah ada pada kedua tepi alquran dan as sunnah, sehingga ketika terbukukan ilmu ilmu itu dan terangkum dalam kaidah yang disepakati ahli ilmu maka munculah nama untuk masing masing disiplin ilmu itu sesuai dengan kajian yang terkait didalamnya.

Lalu kenapa kita harus mengingkari penyebutan tashawwuf dan tidak mengingkari penyebutan ilmu agama lainya? Sedangkan peranannya satu, sama sama meruju' pada alquran dan hadits.

[A] Apakah islam membutuhkan tashawwuf? apabila sesuatu itu membutuhkan pada dirinya, maka boleh dikatakan: ya sesungguhnya islam membutuhkan tashawwuf. Islam merupakan panduan dzohir syari'at dan tidak akan sempurna tanpa didukung dengan panduan batin, maka jika sisi batiniah ini diabaikan cukuplah muslim menjadi orang yang munafiq. Dan panduan batiniah ini seperti iman dengan sifatnya sebagai pekerjaan hati yang kami menyebutnya dengan “tashawwuf”, maka bukanlah tashawwuf itu sesuatu yang lain dari islam jika demikian, sehingga dikatakan “islam membutuhkan tashawwuf”atau “islam tidak memerlukan kajian tashawwuf” karena tashawwuf sendiri merupakan puncaknya agama islam secara keseluruhan, itulah maqom “ihsan” yang mencakup taqwa, tazkiyyah (penyucian), rabbaniyah (pengajaran dan pentauladanan) sebagaimana pada bab sebelumnya telah kita bahas.

[B] Demikianlah kita dapati pertanyaan apakah tashawwuf merupakan perkara baru yang disandarkan pada islam, merupakan pertanyaan yang ga etis untuk di ajukan bagi muslim yang berakal, dan jawaban untuk soal itu saudaraku semua bisa tela'ah dari sebagian pembahasan di atas, dan jika masih belum memahami jawaban maka anda harus segera datangi guru guru anda yang mempunyai sanad keilmuan islam dengan jelas.

Lalu dimanakah pertanyaan yang mereka nuqil dari Firman Allah [Almaidah:3] Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. ??? ketahuilah hakikat dari tashawwuf adalah islam itu sendiri dalam kedudukan yang tertinggi.dan sungguh merupakan suatu yang mengherankan bagi orang yang menulis dalam karya tulisnya dengan menerima sifat syukur, sabar, wara', zuhud, dzikir dan tafakkur dari kitab kitab ulama salaf tapi tidak mau menerimanya (sifat-sifat diatas) dari kitab kitab ulama tashawwuf, inilah golongan yang berhak menyandang gelar “muta'ashibun” (fanatik) dan menyimpan kebencian pada orang orang yang beriman.

[C] Adapun perbedaan antara tashawwuf dan zuhud didalam islam, maka sungguh sufi (orang yang meniti jalan tashawwuf) kedudukannya lebih tinggi dibanding zahid (orang yang zuhud di dunia), mengapa bisa demikian? Karena orang yang zuhud hanya meninggalkan kecintaan terhadap dunia, dan itu (dunia) tidak berarti apa-apa, maka zuhud di dunia berarti zuhud terhadap sesuatu yang tidak ada harganya dan zuhud pada sesuatu yang tidak ada harganya merupakan kelalaian dan kebodohan, tetapi zuhudnya seorang sufi adalah terbangun pada setiap sesuatu yang dapat menjauhkan dia dari Allah dengan semua maksud yang ada, adapun perkara yang mengingatkan dia pada Allah (zuhud terhadap harta) maka itu bukan zuhudnya seorang sufi.

Diriwayatkan, pada suatu ketika masuklah sufi pada seorang amirul mu'minin, berkatalah sufi pada kholifah tentang maksud dan tujuannya, lalu kholifah memberikan hadiah pada sufi dengan sesuatu nilai yang belum pernah ada orang menerimanya, tapi sufi langsung menolaknya hingga membuat kholifah terkejut dan bingung sambil berkata: sungguh engkau orang yang sangat zuhud!!! berkatalah sufi: bahkan engkaulah yang lebih zuhud dari saya wahai amirul mu'minin. Berkata kholifah: bagaimana bisa demikian? Sufi menjawab: karena saya zuhud akan dunia, dan itu artinya sesuatu yang tidak ada apa-apanya, sedangkan engkau zuhud akan akhirat, dan itu adalah segala sesuatu.

Saudaraku... cermatilah konsep zuhud bagi mutashowwifin, dia menjadikan dunia ada pada genggamannya, tapi tidak menempatkan dunia pada hatinya (kecintaan yang dapat memperbudak hati), karena orang yang zuhud (tanpa tashawwuf) adalah orang kaya yang mengharamkan bagi dirinya kesenangan dunia untuk menukarkan (mencari ganti) dengan kelipatan di akhirat, dan sufi tidaklah demikian, dia tidak mengharamkan bagi dirinya kesenangan (kenikmatan) yang Allah telah halalkan, kecuali jika itu (kesenangan) dapat menutupi dirinya dari Allah, maka segera akan ditinggalkannya, itulah yang diajarkan Abul Hasan As syadzili -radiyallahu 'anhu- beliau adalah salah satu imam sufi yang memiliki perdagangan dan perkebunan, begitu juga Syamsuddin Ad dimyati seorang ulama sufi yang kaya, beliaulah yang membangun tower (istana tinggi) dengan uangnya sendiri pada masa kesultanan Al ghori, begitu juga Allaits Bin Sa'ad seorang faqih (ahli agama) mesir dan imam para orang zahid waktu itu dan beliau adalah orang terkaya pada zamannya, dan mereka semua tidak terhalangi oleh kekayaannya dalam menduduki derajat hamba terzuhud pada zaman zamannya, dan kekayaan yang mereka miliki tidak menyibukkan dirinya dari kethaatan pada Allah, bahkan cara hidupnya mengantarkan mereka pada puncak kemuliaan dan kejayaan, jadi demikianlah para mutashowwifin tidak identik dengan kemiskinan, kumal dan kotor seperti yang digambarkan oleh orang yang tidak memahami konsep dan kaidah tashawwuf di dalam islam.

Sungguh telah nyata kezuhudan para sahabat Nabi dengan nilai sufismenya, seperti Bilal Bin Rubah, Salman Al farisi, Tamimu dariy yang telah awal duduk di masjid Rosulillah pada saat Umar bin Khottob mengingatkan kaum muslimin pada Allah pada hari jum'at. Sesungguhnya batasan (ta'rif) zuhud sangat terbatas, dari apa yang bisa kita temui pada banyak para sahabat, tabi'in, tabi'u tabi'in, dan dihati semua sahabat terdapat kezuhudan, sungguh dunia ada pada genggamannya bukan pada hatinya, mereka mencukupkan diri pada Pengatur dunia (Allah) dari dunia seisinya, dan orang yang memiliki dunia (kaya/berkecukupan) dialah yang dapat zuhud di dunia, maka bagi orang yang tidak memiliki dunia pada perkara apa dia akan zuhud??? Wallahu a'lam bishawab.

0 komentar:

Post a Comment

Mobil Bekas
Pasang Iklan Rumah
Kontak Jodoh