Sebuah persoalan yang sering dihadapi oleh kaum muslimin zaman sekarang yaitu masalah berjabatan tangan antara laki-laki dengan wanita yang bukan muhrim, khususnya terhadap kerabat sendiri yang bukan muhrimnya, seperti anak paman atau anak bibi (saudara misan/sepupu), semenda (besan), istri paman atau suami bibi, saudara wanita dari isteri (ipar) atau saudara lelaki dari suami (ipar) atau wanita-wanita lainnya ,yang bukan muhrim, yang masih ada hubungan kekerabatan.
Lebih-lebih dalam waktu-waktu tertentu, seperti datang dari bepergian, sembuh dari sakit, datang dari haji atau umrah, atau saat-saat lainnya yang biasanya para kerabat, semenda, tetangga, dan teman-teman lantas menemuinya dan bertahni’ah (mengucapkan selamat atasnya) dan berjabat tangan antara yang satu dengan yang lain, malah ada lagi yang berpeluk-pelukan atau peluk cium.
Sedangkan kalau kita tidak mau berjabat tangan atau berpeluk-pelukan, maka mereka memandang kita sebagai seorang beragama yang kuno, terlalu ketat, tidak saling menghargai, merendahkan wanita, tidak sopan, selalu berprasangka buruk dan sebagainya dan sebagainya.
Berjabatan tangan sesama jenisnya itu memang dianjurkan oleh syari’at, karena banyak riwayat hadits yang menyebutkan para sahabat bila bertemu sering berjabatan tangan. Anjuran agama ini berlaku untuk sesama jenisnya yaitu lelaki dengan lelaki dan wanita dengan wanita atau dengan sesama muhrimnya, jadi bukan antara lelaki dan wanita yang bukan muhrim !
Orang mengira bahwa bila kita tidak berjabat-tangan dengan yang bukan muhrim berarti kurang sopan atau tidak saling menghargai, padahal keramah an dan kesopanan yang dimaksud oleh syari’at Islam bukanlah terletak pada jabatan tangan antara wanita dan lelaki yang bukan muhrim. Kita sebenar- nya juga tidak perlu bingung dengan kritikan orang lain (kolot, kurang sopan dll) mengenai amalan kita, karena kritikan ini tidak ada habis-habisnya, yang penting sebagai seorang muslim atau muslimah ialah sebaik mungkin menjalani perintah Allah swt. dan Rasul-Nya dan menjauhi larangan yang telah digariskan oleh syari’at Islam.
Bagaimana bila kondisinya darurat ?
Islam memang mengenal darurat yang akan meringankan suatu hukum. Ada kaidah Idzaa dhoogal amr ittasi’ (jika kondisi sulit, maka Islam memberikan kemudahan dan kelonggaran). Bahkan Kaedah lain menyebutkan: ‘Kondisi darurat menjadikan sesuatu yang haram menjadi mubah’.
Namun darurat itu bukan sesuatu yang bersifat rutin dan gampang dilaku kan! Umumnya darurat baru dijadikan pilihan manakala memang kondisinya akan menjadi kritis dan tidak ada alternatif lain. Itu pun masih diiringi dengan resiko fitnah dan sebagainya. Sekarang kita bertanya sendiri apakah ber- jabatan tangan antara muslim-muslimah yang bukan muhrim termasuk darurat ? Sudah tentu tidak !
Sebelum kami mengutip dan mengumpulkan makalah-makalah yang kami anggap penting untuk diketahui yang ditulis oleh para ulama pakar diantara- nya banyak tercantum juga di internet/website mengenai dalil berjabatan tangan antara bukan muhrim ingin memberitahukan bahwa dalil-dalil syara’ yang berkaitan pengharaman jabat tangan dengan ajnabiyah (wanita bukan muhrim) adalah jauh lebih banyak daripada dalil yang memperbolehkannya.
Dalil yang memperbolehkannya pun belum mutlak tetapi masih mempunyai syarat-syarat tertentu,umpamanya:
Pertama: Berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan itu hanya diperbolehkan apabila tidak disertai dengan syahwat serta aman dari fitnah. Apabila dikhawatirkan terjadi fitnah terhadap salah satunya, atau disertai syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satu pihak (apalagi keduanya; penj.) maka keharaman berjabatan tangan tidak diragukan lagi.
Bahkan seandainya kedua syarat itu tidak terpenuhi yaitu tiadanya syahwat dan aman dari fitnahmeskipun jabatan tangan itu antara seseorang dengan muhrimnya seperti bibinya, saudara sesusuan, anak tirinya, ibu tirinya, mertuanya atau lainnya, maka berjabatan tangan pada kondisi seperti itu adalah haram. Bahkan berjabat tangan dengan anak yang masih kecilpun hukumnya juga haram jika kedua syarat itu tidak terpenuhi!
Kedua: Hendaklah berjabat tangan itu sebatas ada kebutuhan (keperluan) saja, seperti yang disebutkan dalam pertanyaan diatas, yaitu dengan kerabat atau semenda (besan) yang terjadi hubungan erat dan akrab diantara mereka, dan tidak baik hal ini diperluas kepada orang lain, demi membendung pintu kerusakan, menjauhi syubhat, mengambil sikap hati-hati dan meneladani sikap Nabi saw. Dan yang lebih utama bagi seorang muslim atau muslimah yang komitmen pada agamanya ialah tidak memulai berjabat tangan dengan lain jenis !
Demikianlah sebagian syarat yang diajukan oleh golongan yang memboleh- kannya. Syarat-syarat itu cukup berat bagi orang yang mau memahaminya, karena sentuhan anggota badan ke anggota badan yang lain lebih kuat dan besar pengaruhnya terhadap naluri, watak dan lebih dahsyat mengajak kepada fitnah daripada sekedar memandang dengan mata. Apakah kita yakin bahwa syahwat dan fitnah tidak akan muncul dari diri saudara dan saudari tersebut? Tetapi sayangnya orang hanya mengamalkan pemboleh- annya saja tetapi mengabaikan syarat-syaratnya !
Ada lagi orang yang mengatakan; yang penting niat kita karena ada hadits yang mengatakan bahwa ‘segala sesuatu amalan itu tergantung dari niatnya...’ Padahal hadits itu tidak berlaku untuk sesuatu amalan yang sudah digariskan dalam syari’at Islam atas kewajibannya ataupun larangannya, maksudnya ialah bila sudah ada perintah dan larangan dalam syari’at Islam, maka kita tidak boleh melanggarnya walaupun niat kita baik untuk amalan tersebut. Saya akan berikan contoh yang mudah saja: Syari’at Islam memerintahkan kita agar sholat dimulai dengan ucapan takbir dan di akhiri dengan salam. Bila ada orang yang sholat tanpa memulai dengan ucapan takbir maka sholatnya batal/tidak sah harus diulangi, walaupun orang itu sudah berniat untuk sholat. Contohnya lagi Sholat Shubuh dalam syari’at Islam jumlahnya dua raka’at. Ada orang yang sengaja ingin menambah kebaikan maka dia sholat Shubuh tiga raka’at. Maka sholatnya orang itu batal dan tidak sah, walaupun niatnya dia baik yaitu lebih banyak beribadah kepada Allah swt.!! Lain halnya dengan amalan-amalan yang tidak diwajib- kan atau dilarang oleh syari’at Islam (baca bab bid’ah dalam buku ini).
Banyak para ulama yang mengatakan bahwa dalil atau hukum yang ber- kaitan dengan larangan itu harus lebih didahulukan daripada hukum yang membolehkannya. Begitu juga sebagian besar ulama baik zaman dahulu maupun sekarang tidak melakukan berjabatan tangan dengan wanita yang bukan muhrimnya. Tidak lain para ulama pakar ini memahami makna ayat-ayat ilahi dan hadits-hadits yang berkaitan dengan etika cara berhubungan antara lelaki dan wanita yang bukan muhrimnya.
Tujuan kami untuk mengutip masalah jabat tangan ini tidak lain agar kita tidak marah, mencela atau bersangka buruk kepada orang muslimin yang tidak mau berjabatan tangan (umpama hanya dengan mengatupkan telapak tangannya sendiri atau meletakkan tangannya didada dan semisalnya) dengan orang yang bukan muhrimnya. Tidak lain mereka ini juga mengikuti perintah Allah swt. dan sunnah Rasulallah saw. Karena didalam praktek sehari-hari masih ada orang yang memaksa teman atau kerabatnya yang bukan muhrim untuk berjabatan tangan atau peluk cium satu sama lain. Walaupun kita berbeda pendapat kaum muslimin tetap bersaudara, tidak boleh dengan adanya perbedaan pendapat tersebut, sesama muslim saling menfitnah dan menjelek-jelekan orang yang berbeda dengan mereka, masing-masing mempunyai tanggung jawab sendiri mengenai amalan yang dilakukannya tersebut.
Pertama-tama kami ingin mengutip dan mengumpulkan dari internet/ website dan dari sumber lainnya dibawah ini dalil-dalil orang yang melarang berjabatan tangan antara lelaki dan wanita yang bukan muhrim, kemudian dalil-dalil orang yang membolehkannya dengan bersyarat, serta jawaban atau tanggapannya yang cukup baik dan ditulis oleh Abu Salma (kami ringkas dan rapikan yang perlu diutarakan—pengutip). Insya Allah dengan adanya kutipan ini kita bisa menilai sendiri mana yang mendekati kebenaran. Semoga semuanya ini bisa bermanfaat kepada kami sekeluarga khususnya dan kaum muslimin lainnya. Amin
Dalil-dalil dari Al-Qur’an:
Perintah Allah swt. yang berkaitan dengan etika hubungan antara lelaki dan wanita:
Kalau ada sebuah keperluan terhadap lawan jenis, harus disampaikan dari balik tabir pembatas. Sebagaimana firmanNya: ‘Dan apabila kalian meminta sesuatu kepada mereka (para wanita) maka mintalah dari balik hijab’. (QS. Al-Ahzab : 53).
Seorang wanita dilarang mendayukan (suara merdu) ucapan saat berbicara kepada selain suami. Firman Allah: “Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidak- lah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS. Al-Ahzab : 32).
Allah memerintahkan kaum laki-laki untuk menundukkan pandangannya, sebagaimana firman-Nya: “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluan’”. (QS. An-Nur : 30).
Sebagaimana firman diatas tetapi ditujukan kepada wanita beriman, Allah berfirman: “Dan katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya.’” (QS. An-Nur : 31).
Manusia diciptakan oleh Allah ta’ala dengan membawa fitrah (insting) untuk mencintai lawan jenisnya, sebagaimana firman-Nya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali-Imran : 14).
Allah ta’ala telah melarang perbuatan zina dan segala sesuatu yang bisa mendekati perzinaan sebagaimana firmanNya: “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’ : 32).
Ibnu Katsir berkata: ‘Ini adalah beberapa etika yang diperintahkan oleh Allah kepada para istri Rasulallah saw. serta para wanita mu’minah lainnya, yaitu hendaklah dia kalau berbicara dengan orang lain tanpa suara merdu, dalam artian janganlah seorang wanita berbicara dengan orang lain sebagaimana dia berbicara dengan suaminya.’ (Tafsir Ibnu Katsir 3/530).
Berkata Imam Qurthubi: ”Allah ta’ala memulai dengan wanita karena kebanyakan manusia menginginkannya, juga karena mereka merupakan jerat-jerat syetan yang menjadi fitnah bagi kaum laki-laki, sebagaimana sabda Rasulallah saw.: ‘Tiadalah aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada wanita’ “ (HR. Bukhari: 5696, Muslim: 2740, Tirmidzi: 2780, Ibnu Majah : 3998). Oleh karena itu, wanita adalah fitnah terbesar dibanding yang lainnya. (Tafsir Qurthubi 2/20).
***Kalau Allah swt. memerintahkan agar orang menahan pandangannya terhadap lawan jenisnya (yang bukan muhrim), maka tidak ragu lagi, bahwa sentuhan anggota badan ke anggota badan yang lain lebih kuat dan besar pengaruhnya terhadap naluri, watak dan lebih dahsyat mengajak kepada fitnah daripada sekedar memandang dengan mata. Setiap orang yang berlaku adil pasti mengetahui kebenaran hal itu!*** Renungkanlah !
Dalil-dalil dari hadits dan keterangan para ulama pakar baik yang langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan larangan bersentuhan kulit dengan lawan jenisnya:
Dari Ma’qil bin Yasar ra. berkata : Rasulallah saw. bersabda: “Seandainya kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi itu masih lebih baik dari pada menyentuh wanita yang tidak halal (bukan muhrim) baginya.” (HR. Thabrani dalam Mu’jam Kabir 20/174/386).
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulallah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah menetapkan untuk anak adam bagiannya dari zina, yang pasti akan mengenainya. Zina mata dengan memandang, zina lisan dengan berbicara, sedangkan jiwa berkeinginan serta berangan-angan, lalu farji yang akan membenarkan atau mendustakan semuanya.” (HR. Bukhari 4/170, Muslim 8.52, Abu Dawud 2152)
Rasulallah saw. tidak pernah menyentuh wanita meskipun dalam saat-saat penting seperti membai’at dan lain-lain. Dari Aisyah ra.: ‘“Demi Allah, tangan Rasulallah saw. tidak pernah menyentuh tangan wanita sama sekali meskipun dalam keadaan membai’at. Beliau tidak memba’iat mereka kecuali dengan mengatakan: ‘Saya ba’iat kalian.’ “ [HR Bukhori: 4891]
Sabda Rasulallah saw. lainnya: “Kedua mata berzina, kedua tangan berzina, kedua kaki berzina dan kemaluan pun berzina” (HR. Ahmad, 1/ 412; shahihul jam’ : 4126).
Rasulallah saw. menguji kaum mukminat yang berhijrah kepada beliau dengan firman Allah ta’ala ( ayat 12 surat al-Mumtahanah): “Wahai Nabi, apabila datang kepadamu wanita-wanita yang beriman untuk membaiatmu….. sampai pada firman-Nya: ‘Allah Maha Pengampun lagi Penyayang’”. Urwah berkata, ‘Aisyah mengatakan: ‘Siapa di antara wanita-wanita yang beriman itu mau menetapkan syarat yang disebutkan dalam ayat tersebut.’ Rasulallah saw. pun berkata kepadanya, ‘Sungguh aku telah membaiatmu’, beliau nyatakan dengan ucapan (tanpa jabat tangan).’ ‘Aisyah berkata; ‘Tidak, demi Allah! Tangan beliau tidak pernah sama sekali menyentuh tangan seorang wanita pun dalam pembaiatan. Tidaklah beliau membaiat mereka kecuali hanya dengan ucapan, ‘Sungguh aku telah membaiatmu atas hal tersebut’ ”. (HR. Al-Bukhari no. 4891 dan Muslim no. 4811)
Umaimah bintu Ruqaiqah berkata: “Aku bersama rombongan para wanita mendatangi Rasulallah saw. untuk membaiat beliau dalam Islam. Kami berkata; ‘Wahai Rasulallah, kami membaiatmu bahwa kami tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun, tidak akan mencuri, tidak berzina, tidak mem bunuh anak-anak kami, tidak melakukan perbuatan buhtan yang kami ada-adakan di antara tangan dan kaki kami, serta kami tidak akan bermaksiat kepadamu dalam perkara kebaikan’. Rasulallah saw. bersabda, ‘Sesuai yang kalian mampu dan sanggupi’. Umaimah berkata, ‘Kami berucap, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih sayang kepada kami daripada sayangnya kami kepada diri-diri kami. Marilah, kami akan membaiatmu wahai Rasulallah’. Rasulallah saw. kemudian berkata: ‘Sesungguhnya aku tidak mau berjabat tangan dengan kaum wanita. Hanyalah ucapanku kepada seratus wanita seperti ucapanku kepada seorang wanita”.
Aisyah ra. berkata:
“Dan Demi Allah, sungguh tangan Rasulallah saw. tidak (pernah) menyentuh tangan perempuan sama sekali, tetapi beliau membaiat mereka dengan perkataan” (HR Muslim:3/1489).
Dari Umaimah bintih Ruqoiqoh radhiyallahu ‘anha: Bersabda Rasulallah saw.: “Sesungguhnya saya tidak berjabat tangan dengan wanita.” [HR Malik 2/982, Nasa'i 7/149, Tirmidzi 1597, Ibnu Majah 2874, ahmad 6/357, Ath Thabrani dalam Al Kabir : 24/342, shahihul jami’: 70554, hadits nr. 2509]
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata, “Rasulallah saw. membaiat mereka hanya dengan mengucapkan: ‘Sungguh aku telah membaiatmu’, tanpa beliau menjabat tangan wanita tersebut sebagaimana kebiasaan yang berlangsung pada pembaiatan kaum lelaki dengan menjabat tangan mereka.” (Fathul Bari, 8/811)
Al-Hafidh Ibnu Hajar ketika mengomentari hadits ‘Aisyah diatas yang menyatakan bahwa Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan wanita ketika baiat, beliau mengatakan: “Dan di dalam hadits ini -yaitu hadits ‘Aisyah- ada hukum bolehnya (mendengarkan) suara wanita yang bukan muhrim, dan suara mereka itu bukanlah aurat. Dan hukum haramnya menyentuh kulit mereka bila tidak dalam keadaan darurat”. (Fathul-Bari, 16/330)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan bahwa hadits ini menunjukkan tidak bolehnya menyentuh kulit wanita ajnabiyyah (non muhrim) tanpa keperluan darurat, seperti karena pengobatan dan hal lainnya bila memang tidak didapatkan dokter wanita yang bisa menanganinya. Karena keadaan darurat, seorang wanita boleh berobat kepada dokter laki-laki ajnabi (bukan muhrim si wanita). (Al-Minhaj, 13/14)
Asy-Syinqinthi rahimahullahu berkata, “Tidaklah diragukan bahwa sentuhan tubuh dengan tubuh lebih kuat dalam membangkitkan hasrat laki-laki terhadap wanita, dan merupakan pendorong yang paling kuat kepada fitnah daripada sekedar memandang dengan mata. Dan setiap orang yang adil/mau berlaku jujur akan mengetahui kebenaran hal itu.” (Adhwa`ul Bayan, 6/603)
Imam asy-Syaukani dalam kitab Irsyadul Fuhul hal.279 mengatakan: “Larangan lebih didahulukan ketimbang kebolehan” .
Dengan kaidah ini seharusnya kita lebih mendahulukan dalil larangan berjabat tangan dengan lawan jenis daripada dalil yang menetapkan keboleh annya/ kemubahannya.
Beberapa pendapat ulama-ulama dari empat madzhab besar diantaranya:
Madzhab Hanafi :
Haram menyentuh wajah dan dua telapak tangan perempuan bukan muhrim, sekalipun aman dari syahwat.
Berjabat tangan dengan perempuan tua yang sudah tidak bersyahwat lagi; At-Thahawi berkata tidak mengapa. Manakala Syamsudin Ahmad bin Qaudar berkata tidak halal sekalipun aman dari syahwat.
Imam al-Kasaani berkata: “menyentuh (wanita) lebih berpotensi mem- bangkitkan syahwat daripada sekedar melihat ..” [Bada'iu
ash-Shana`i']
Madzhab Maliki:
Haram berjabat tangan dengan perempuan bukan muhrim. Ini dinyatakan oleh al-Imam al-Baaji, al-Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi dan As-Shawi.
Hukum berjabat tangan dengan perempuan tua, menurut Syeikh Abul Barakat Ahmad bin Muhamad bin Ahmad ad-Durdair ia tidak dibenarkan.
Imam Abul Barokaat menyatakan: “Tidak boleh berjabat tangan dengan wanita (bukan muhrim) walaupun kaum lelaki sudah tidak
memiliki lagi keinginan (hasrat) kepadanya .” [asy-Syahush Shaghir IV/760].
Madzhab Syafi’i :
Imam An-Nawawi di dalam beberapa karyanya, as-Syaribini dan lain-lain ulama as-Syafi’iyyah menyatakan haram berjabat tangan dengan perempuan bukan muhrim.
Imam an-Nawawi berkata: “Memandang wanita (bukan muhrim) saja haram, maka menyentuhnya tentu lebih haram lagi, karena terasa lebih nikmat .” [Roudhotu ath-Thalilibin VII/28].
Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar halaman 228 berkata: “Para shahabat kami (dari kalangan Syafi’iyyah) mengatakan bahwa setiap hal yang dilarang untuk dilihat, maka dilarang pula untuk menyentuhnya. Bahkan menyentuh itu lebih besar lagi urusannya, karena telah dibolehkan bagi seseorang untuk melihat seorang wanita yang bukan muhrimnya pada saat hendak menikahi- nya, pada saat jual beli, pada saat mengambil barang dan menyerahkannya dan yang semisal dengan hal tersebut di atas. Akan tetapi tetap tidak diper- bolehkan baginya pada saat-saat tersebut untuk menyentuhnya”.
Madzhab Hanbali:
Imam Ahmad ketika ditanya tentang masalah berjabat tangan dengan perempuan bukan muhrim, beliau menjawab: “Aku membencinya.”
Mengenai berjabat tangan dengan perempuan tua:
Imam Ishaq bin Mansur al-Marwazi menukil dari imam Ahmad, ia tidak dibenarkan (tidak dibolehkan).
Sementara Ibnu Muflih menyatakan; pemilik an-Nazham mengatakan makruh dan dengan anak kecil (yang belum baligh) dibolehkan dengan tujuan budi pekerti.
Imam al-Marruzi (ada yang membaca : al-Marwazi) mengatakan: “Aku pernah bertanya kepada Ahmad bin Hanbal. ” Apakah anda membenci jabat tangan dengan kaum wanita (non muhrim)?”" Beliau menjawab: “Aku membencinya.” [Masa`il Ahmad wa Ishaq I/211]. Masih banyak lagi pendapat ulama dari empat madzhab yang mengharamkan berjabatan tangan dengan wanita bukan Muhrim.
Dalil dari golongan yang membolehkan:
Pendapat yang membolehkan berdalil pada riwayat hadits diantaranya dari Ummu ‘Athiyah yang menurut mereka kata-kata ga ba dho dalam hadits itu berarti tangan Rasulallah saw. bersentuhan (memegang) tangan wanita. Di- antara ulama yang membolehkan ialah: an-Nabhani, al-Qordhowi, Mahmud Khalidi dan semisalnya dari kalangan khalaf (belakangan). Beberapa alasan golongan yang membolehkan yang kami kutip dari website dan jawaban nya yang cukup baik (kami kutip seringkas mungkin) ditulis oleh Abu Salma sebagai berikut :
Alasan pertama:
Sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyah r.a. yang berkata:
“Kami membai’at Rasulallah saw. lalu beliau membacakan kepadaku ‘Janganlah kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu’, dan melarang kami melakukan ‘nihayah’ (histeris menangisi mayat), karena itulah seorang wanita dari kami menggenggam (melepaskan) tangannya (dari berjabat tangan) lalu wanita itu berkata: ‘Seseorang (perempuan) telah membuatku bahagia dan aku ingin (terlebih dahulu) membalas jasanya’ dan ternyata Rasulallah saw. tidak berkata apa-apa. Lalu wanita itu pergi kemudian kembali lagi.” (HR. Bukhari).
Kata golongan ini : “ Hadits itu menunjukkan bahwasanya kaum wanita telah berbai’at dengan berjabat tangan. Kata ‘qa ba dha’ dalam hadits ini memiliki arti menggenggam atau melepaskan tangan. Seperti disebutkan didalam kamus yang berarti menggenggam sesuatu, atau melepaskan (tangannya dari memegang sesuatu). (Lihat A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir, hal. 1167). Hadits ini jelas-jelas secara manthuq (tersurat) artinya ‘menarik kembali tangannya’ menunjukkan bahwa para wanita telah berbai’at dengan berjabat tangan, sebab tangan salah seorang wanita itu digenggamnya/ dilepaskannya setelah ia mengulurkannya hendak berbai’at. Selain itu dari segi mafhum (tersirat) juga dipahami bahwa para wanita yang lain pada saat itu tidak menarik (menggenggam) tangannya, artinya tetap melakukan bai’at dengan tangan terhadap Rasulallah saw. Jadi hadits ini menunjukkan secara jelas –baik dari segi manthuq (tersurat) maupun mafhum (tersirat)– bahwa Rasulallah saw. telah berjabat tangan dengan wanita pada saat bai’at “ (Lihat Taqiyuddin An-Nabhani, Nidzham Ijtima’i Fil Islam, hal. 57 – 58, 71 – 72).
Jawabannya :
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari dikatakan: Menceritakan kepada kami Abu Ma’mar, menceritakan kepada kami Abdul-Warits, menceritakan kepada kami Ayyub dari Hafshoh binti Sirin, dari Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata: “Rasulallah saw. membaiat kami, dan beliau membacakan kepada kami ayat “agar mereka tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, beliau melarang kami dari niyahah (meratap), seorang wanita memegang tangannya sendiri (Lafadznya; faqobadlot imro’atun yadaha) dan berkata: seorang fulanah telah membuatku gembira dan aku ingin berterima kasih padanya, dan nabi tidak mengatakan sesuatu apapun pada dirinya, kemudian wanita itu pergi dan kembali lagi, lalu nabi membaiatnya.”
Kata qo ba dho di dalam tekts hadits diatas faqobadhot imro’atun yadaha ditafsirkan dengan makna berjabat tangan (Mushofahah), ini tidak tepat sekali dari segi bahasa baik secara manthuq maupun mafhumnya. Berikut ini makna qo ba dho dari beberapa kamus bahasa Arab yang menjadi pegangan.
Di dalam Mukhtaarus Shihhaah ( Mukhtaarus Shihhah, Imam Muhammad bin Abi Bakr bin Abdir Qodir ar-Razi, cet. I, 1414 H./1994 M., Darul Kutub al-Ilmiyah, hal. 464.) dikatakan: Qobadho asy-Sya’i maknanya akhodzahu = mengambilnya. Wal Qobdhu aidhan dliddu al-Basthu = dan qobdhu juga merupakan lawan dari basthu (membentang- kan). Jika dikatakan : Shoro asy-Sya’i fi qobdhika wa fi qobdhotika maknanya adalah fi milkika (dalam kepunyaanmu/kepemilikanmu).
Didalam kamus al-Mu’tamad (Kamus ‘Arobi-‘Arobi), Abu Abdirrahman Muhammad Abdillah Qosim, Cet. III, 2004, Dar Shodir, Beirut, hal. 513.) dikatakan: Qobadho Qobdhon ar-Rajulu asy-Syai’a maknanya akhodzahu wa tanaawaluhu = mengambil dan menerimanya. Qobadho ‘ala asy-Syai’i maknanya amsakahu wa dhomma ‘alaihi ashobi’uhu = menggenggamnya dan merapatkan dengan erat jari jemarinya. Qobadho yadahu ‘an asy-Syai’i maknanya imtana’a ‘an imsaakihi = melepaskan dari genggaman.
Didalam kamus al-Muhith ( Majduddin Muhammad bin Ya’qub bin Muhammad bin Ibrahim al-Fairuz Abadi asy-Syairazi asy-Syafi’i, juz II, cet. I, 1415/1995, Darul Kutub al-Ilmiyah, hal. 521) dikatakan : Qobadhohu yadahu yaqbidhuhu maknanya tanaawaluhu biyadihi = menerima dengan/mengulur- kan tangannya. Qobadho ‘alaihi biyadihi maknanya imsaakihi = menggenggamnya. Qobadho yadahu ‘anhu maknanya imtana’a ‘an imsaakihi = melepaskan genggamannya.
Didalam kamus al-Munawwir ((Kamus Arab-Indonesia Terlengkap), Ahmad Warson Munawwir, Cet. XIV, 1997, Pustaka Progressif, hal 1086.) dikatakan:
Qobadho asy-Syai’a aw ‘alaihi maknanya menggenggam. Qobadho wa Qobbadho asy-Syai’a maknanya qollashohu= mengerutkan atau menguncup kan. Qobadho ‘anil Amri maknanya nahhaahu = menjauhkan. Qobadho yadahu ‘ani asy-sya’i maknanya melepaskan. Qobadho ‘anil Qoumi maknanya hajarohum = meninggalkan. Qobadho ‘alaihi maknanya menangkap.
Demikian pula di dalam kamus-kamus berikut ini: al-Mu’jamul Wasith (DR. Ibrahim Anis dkk., Juz I, Cet. III, al-Maktab al-Islamiyah, hal. 711); Laarus al-Mu’jam al-‘Arobiy al-Hadits (DR. Khalid al-Jarr, Cet. I, 1987, Maktabah Larus, hal. 933); al-Waafi Mu’jamul Wasith lilughotil ‘Arobiyah (Abdullah al-Bustani, Cet. Baru, 1990, Maktabah Libnan, Beirut, hal. 484); al-Mishbahul Munir fi Ghoribi asy-Syarhil Kabir ar-Rafi’I (al-Allamah Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Muqri al-Fayumi, Juz I, Darul Fikr, hal. 487-488 ) dan al-Bustaan Mu’jamul Lughowi (al-Allamah Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Muqri al-Fayumi, Juz I, Darul Fikr, hal. 487-488).
Jadi kata qobadho dihadits itu diartikan berjabat tangan atau melepaskan genggaman dari jabatan tangan seperti yang diklaim sebagian orang, maka ini adalah kebatilan yang dibangun di atas zhan/sangkaan belaka yang mengandung ihtimalat (banyak kemungkinan-kemungkinan lainnya). Perlu juga diketahui bahwa maf’ul (obyek) di dalam lafadh hadits tersebut adalah yadaha dimana ha adalah dhamir (kata ganti) untuk wanita, sehingga dhamir ha disini mengandung ihtimal bisa yang dimaksud adalah tangan wanita tersebut atau wanita lainnya!!
Juga perlu diketahui bahwa makna mengenggam (amsaka) adalah jika kata qobadho diiringi oleh suatu kata lagi atau muqoron (gandeng) dengan kata ‘ala maka bisa dibawa kepada makna mengenggam. Sebagian orang yang membolehkan jabat tangan ini juga berasumsi bahwa makna qobadho adalah imtana’a ‘an imsakiha (melepaskan tangannya dari genggamannya), padahal tidak ada shilah ‘an (qobadho ‘an) di dalam lafadh ini. Oleh karena itu asumsi bahwa qobadho di sini bermakna “menggenggam” ataupun “melepaskan tangan dari jabat tangan” adalah sangat salah. Yang benar ada lah bermakna tanaawala atau mengulurkan tangan yang bermaksud meminta izin dari prosesi baiat ketika saat itu.
Mari kita lihat pula penjelasan al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqolani yang pribadi dan ilmunya lebih dikenal daripada Taqiyudin an-Nabhani, DR. Mahmud Khalidi (penulis buku Baiat versi HT), Abdurrahman al-Baghdadi, Syamsudin Ramadhan dan orang-orang semisal mereka dari kalangan khalaf, sehingga ketika para imam terdahulu (salaf) semacam al-Hafidh Ibnu Hajar dan semisalnya menyebutkan hadits Ummu Athiyah ini, tidak terbetik satupun pemahaman sebagaimana pemahaman sebagian orang pada zaman belakangan ini.
Imam Al-Hafidh Ibnu Hajr berkata: “Sabda nabi saw.: “faqobadlot imro’atun yadahaa” didalam riwayat ‘Ashim berbunyi: “Aku (Ummu Athiyah) berkata: Wahai Rasulallah sesungguhnya keluarga fulan telah membahagiakanku di masa jahiliyah maka aku harus membahagiakan mereka”. Aku (al-Hafidh) tidak tahu siapakah keluarga fulan yang ditunjuk dalam riwayat ini. Didalam riwayat Nasa’i berbunyi: “Aku (Ummu Athiyah) berkata : sesungguhnya ada seorang wanita yang membahagiakanku di masa jahiliyah” dan aku (al-Hafidh) tidak mengetahui siapa nama wanita yang dimaksud dan jelaslah bahwa Ummu Athiyah didalam riwayat Abdul Warits memubhamkan (menyembunyikan identitas) dirinya.” (Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari , Juz VIII, Darul Kutub Ilmiyah, Beirut, hal. 823, Bab. III : Idza Ja’aka al-Mu’minaatu yubayi’naka, hadits no. 3892. )
Dari penjelasan Ibnu Hajar rahimahullahu di atas, tampak dengan jelas bahwa wanita yang diceritakan oleh Ummu Athiyah adalah dirinya sendiri, namun beliau menceritakan dengan lafadh mubham, dan ini adalah suatu hal yang lazim di dalam menceritakan tentang diri namun dengan menggunakan lafadh yang menunjukkan orang lain. Dan al-Hafidh sama sekali tidak menyinggung adanya mushofahah (jabatan tangan) di dalam syarah (pen- jelasan) beliau. Sekiranya ada pemahaman mushofahah dalam hadits tersebut, niscaya al-Hafidh akan menyinggungnya, karena beliau adalah orang yang cukup dikenal pribadinya dikalangan para ulama dan pensyarah hadits shohih Bukhori.
Namun anehnya, golongan yang membolehkan yang datang berabad-abad kemudian (para khalaf) membawa pemahaman yang tidak tepat terhadap hadits ini dan seakan-akan merasa bahwa mereka adalah orang-orang yang lebih mengetahui ketimbang para Salaf (yang dahulu). Padahal al-Hafidh di dalam syarah (penjelasan) hadits sebelumnya, menyebutkan hadits-hadits shohih tentang haramnya menyentuh wanita ajnabiyah.
Alasan kedua:
Hadits yang diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyah ra ini yang dijadikan dalil oleh sebagian ulama yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan muhrim. Namun demikian kebolehan tersebut dengan syarat tidak disertai syahwat. Kalau ada syahwat maka hukumnya haram. Kata ‘qa ba dha’ juga sering ditemukan dalam hadits-hadits lain yang artinya menggenggam dengan tangan, misalnya, diriwayatkan oleh Abu Bakar r.a. dari Ibnu Juraij yang menceritakan, Bahwa ‘Aisyah r.a. berkata: “Suatu ketika datanglah anak perempuan saudaraku seibu dari Ayah Abdullah bin Thufail dengan berhias. Ia mengunjungiku, tapi tiba-tiba Rasulallah saw. masuk seraya membuang mukanya. Maka aku katakan kepada beliau ‘Wahai Rasul, ia adalah anak perempuan saudaraku dan masih perawan tanggung’.”
Beliau saw. kemudian bersabda: “Apabila seorang wanita telah sampai usia baligh maka tidak boleh ia menampakkan anggota badannya kecuali wajah -nya dan selain ini –digenggamnya pergelangan tangannya sendiri– dan di biarkannya genggaman antara telapak tangan yang satu dengan genggaman terhadap telapak tangan yang lainnya.” [HR. Ath-Thabari dari ‘Aisyah r.a.].
Jawabannya:
Ucapan mereka ‘kebolehan tersebut dengan syarat tidak disertai syahwat ’ adalah persyaratan ‘angan-angan’ belaka. Karena jika ada akibat pasti ada sebab, dan kaidah fikih menyatakan urgennya saddu adz-dzara’i (menutup jalan-jalan keburukan), apalagi Allah swt. memerintahkan supaya hamba-Nya menjauhi perbuatan yang bisa mengakibatkan perzinaan, sedangkan jabat tangan dengan lawan jenis yang bukan muhrim bisa menimbulkan syahwat, baik terhadap kedua belah pihak sekaligus maupun salah satu pihak dari keduanya.
Jika mereka mengatakan bahwa kata qobadho adalah bermakna ‘meng genggam dengan tangan’ taruhlah dikatakan benar, namun jika dia bawa kepada pemahaman kepada ‘berjabat tangan dengan Rasulallah’ maka telah berlalu penjelasannya, yaitu ini adalah pemahaman yang bathil/salah. Bagai- mana bisa dia mengatakan bahwa qobadho dalam lafadh hadits Ummu Athiyah diatas adalah jabat tangan (atau melepaskan tangan dari jabat tangan)? Dan dari mana pula dia mendatangkan pemahaman bahwa yang dijabat (atau menjabat) adalah Rasulallah saw.? Darimanakah dia mengambil syarah/penjelasan hadits tersebut?
Karena hadits yang serupa diatas ada diriwayatkan oleh ath-Thabrani di dalam Mu’jamul Kabir (XXIV : 143/374) dan Mu’jamul Ausath (II : 230/8959), juga al-Baihaqi melalui jalur Ibnu Luhai’ah, dari Iyadh bin Abdillah bahwa ia mendengar Ibrahim bin Ubaid bin Rada’ah al-Anshori menceritakan dari ayahnya, dari Asma’ binti Umais berkata: “Rasulallah saw. mengunjungi ‘Aisyah binti Abi Bakar, sedangkan di sisi ‘Aisyah ada Asma’ binti Abi Bakar yang sedang mengenakan pakaian bermodel syam yang lengannya lebar. Tatkala Rasulallah melihatnya, maka beliaupun bangkit dan keluar. ‘Aisyah ra. berkata: Menyingkirlah kamu karena Rasulallah melihat sesuatu yang beliau benci. Lalu Asma’ pun menyingkir dan kemudian Rasulallah masuk kembali. Aisyah ra. bertanya kepada beliau alasan apa beliau sampai bangkit, maka beliaupun menjawab: ‘Tidakkah kamu lihat bersoleknya (dandanannya)? Sesungguhnya seorang wanita muslimah itu tidak boleh tampak darinya kecuali ini dan ini ! Beliau mengambil kedua telapak tangannya (demikian di dalam riwayat al-Baihaqi, namun yang benar adalah mengambil “kedua lengan bajunya” sebagaimana disebutkan di berbagai sumber takhrij ), lalu beliau menutupkan dengan lengan baju itu pada bagian punggung telapak tangan beliau sehingga yang tampak hanyalah jari jemari beliau. Selanjutnya beliau meletakkan kedua telapak tangan beliau pada kedua pelipis beliau sehingga yang tampak hanya wajah beliau’ “. Al-Haitsami menghasankannya di dalam Majma’uz Zawa’id (V : 137) dan mengatakan: “Di dalamnya terdapat Ibnu Luhai’ah yang haditsnya hasan sedangkan perawi lainnya adalah rijal shahih.” Al-Baihaqi berkomentar : isnad hadits ini dha’if.
Hadits di atas tidak dapat digunakan sebagai dalil tentang kebolehan berjabat tangan dengan wanita ajnabiyah dengan alasan :
a. Lafadh ‘beliau mengambil kedua tangannya’ adalah lafadh yang salah, dan yang benar adalah ‘mengambil kedua lengan bajunya’ sebagaimana termaktub dalam sumber-sumber takhrij.
b. Tidak ada satupun ulama hadits yang mensyarah hadits ini menjelaskan tentang bolehnya berjabat tangan dengan ajnabiyah.
Alasan ketiga:
“Seorang wanita mengisyaratkan sebuah buku dari belakang tabir dengan tangannya kepada Nabi saw. Beliau saw. lalu memegang tangan itu seraya berkata, ‘Aku tidak tahu ini tangan seorang laki-laki atau tangan seorang wanita.’ Dari belakang tabir wanita itu menjawab. ‘Ini tangan seorang wanita’. Nabi bersabda, ‘Kalau engkau seorang wanita, mestinya kau rubah warna kukumu (dengan pacar).” [HR. Abu Daud].
Jawabannya:
Sekiranya hadits di atas shohih, juga tidak dapat dijadikan dalil tentang kebolehan berjabatan tangan dengan wanita ajnabiyah, dengan alasan :
a. Rasulallah saw.tidak mengetahui apakah orang yang mengisyaratkan buku itu adalah lelaki atau perempuan, oleh karena itu beliau bertanya kepadanya. Jika sekiranya jabat tangan atau menyentuh wanita tidak dibedakan hukumnya oleh Rasulallah, niscaya Rasulallah tidak perlu berkata dengan nada bertanya kepada orang tersebut ‘apakah dia lelaki ataukah wanita?’
b. Rasulallah saw. mengatakan, ‘Jika kau seorang wanita maka seharusnya kau ubah warna kukumu’, hal ini menunjukkan bahwa Rasulallah menghendaki supaya wanita ini membedakan dirinya dengan kaum pria dengan cara memberi pacar pada kukunya, agar supaya dengan pembedaan ini Rasulallah tahu mana tangan pria dan wanita, sehingga beliau tidak sampai menyentuh atau memegang tangannya. Wallahu a’lam
Alasan keempat:
Dalam menghadapi perbedaan tersebut dan pendapat mana yang harus kita ikuti untuk kita amalkan, maka kita harus mengkaji terlebih dahulu pendapat manakah yang lebih kuat dalam hal ini. Untuk itu kita perlu mengkaji manakah dalil yang lebih kuat dari nash-nash yang seolah-olah bertentangan yang digunakan oleh kedua pendapat di atas. Kalau kita perhatikan hadits-hadits yang digunakan oleh kedua pendapat adalah hadits-hadits shahih yang harus diterima kebenarannya.
Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat yang mengatakan bahwa hukum nya mubah. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Hadits yang sering digunakan oleh golongan yang berpendapat haramnya berjabat tangan dengan bukan muhrim adalah hadits-hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah r.a. Sedangkan golongan yang mengatakan mubah adalah berdasarkan riwayat Ummu ‘Athiyah r.a. Untuk mentarjihnya kita perlu memperhatikan kaidah tarjih dalam ilmu hadits yang telah dijelaskan para ulama bahwa: “Rawi yang mengetahui secara langsung kedudukannya lebih kuat dari pada Rawi yang mengetahui tidak secara langsung.”
Dari hadits-hadits diatas, maka hadits yang diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyah r.a. lebih kuat, sebab beliau melihat dan mengetahui secara langsung perbuatan Rasulallah saw. yang berjabat tangan dengan wanita bukan muhrim pada saat berbai’at. Bahkan Ummu ‘Athiyah r.a. sendiri berjabat tangan dengan Rasulallah saw. seperti apa yang tersirat dari hadits yang diriwayatkannya. Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah r.a. isinya merupakan pendapat beliau yang menggambarkan bobot keilmuan beliau. Bahwa selama beliau (‘Aisyah r.a.) bergaul dengan Rasulallah saw, beliau tidak pernah melihat Rasulallah saw. berjabat tangan dengan wanita bukan muhrim.
Memang benar ‘Aisyah r.a. tidak pernah melihat Rasulallah saw. berjabat tangan wanita bukan muhrim. Tetapi tidak bisa langsung disimpulkan bahwa Rasulallah saw. mengharamkan berjabat tangan dengan bukan muhrim. Sebab apa yang dikatakan ‘Aisyah hanya menjelaskan tentang ketiadaan perbuatan Rasulallah –dalam hal ini berjabat tangan– yang diketahui ‘Aisyah, dan tidak menunjukkan larangan berjabat tangan dengan bukan muhrim. Perlu diketahui bahwa kehidupan Rasulallah sehari-hari tidak selamanya didampingi ‘Aisyah r.a., bahkan kehidupan Rasulallah saw.bersama ‘Aisyah r.a. lebih sedikit dibandingkan dengan kehidupan Rasulallah saw di luar rumah (berdakwah tanpa disertai ‘Aisyah r.a.). Sehingga kalau ‘Aisyah r.a. tidak pernah melihat Rasulallah saw berjabat tangan dengan wanita bukan muhrim, tidak bisa langsung disimpulkan haram berjabat tangan dengan bukan muhrim. Sebab pada keadaan lain ada yang melihat dan mengetahui (Ummu ‘Athiyah r.a.) Rasulallah saw berjabat tangan dengan wanita bukan muhrim. Oleh krena itu hadits riwayat Ummu ‘Athiyah r.a. lebih rajih (kuat) untuk dijadikan dalil dan dapat diambil serta menentukan bolehnya berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan muhrim.
Jawabannya:
Hadits-hadits yang mereka kemukakan tidak bertentangan sama sekali, sehingga tidak perlu dilakukan metode jam’u (kompromi), penentuan nasikh mansukh, tarjih maupun tawaqquf. Yang tanaqudl (bertentangan) adalah takwil-takwil (penggeseran arti) yang tidak sehat terhadap hadits-hadits nabi yang muhkam (tegas) dan shahih yang tidak saling kontradiktif sedikitpun. Dalil yang rajah (kuat) adalah Jabat Tangan Dengan Ajnabiyah adalah Haram!!!
Imam Bukhari berkata: Menceritakan kepadaku Ya’qub bin Ibrahim, menceritakan kepadaku Syihab dari pamannya, beliau berkata: Mengabar- kan kepadaku ‘Urwah bahwasanya Aisyah istri Nabi saw. mengabarkan kepadanya bahwa Rasulallah saw. pernah menguji orang-orang yang berhijrah kepada beliau dari kaum mukminat dengan ayat “Wahai Nabi, jika datang kepadamu kaum mukminat yang akan membaiatmu…(hingga akhir ayat 12 surat al-Mumtahanah)”. Urwah berkata : “Aisyah bertanya tentang pengakuan persyaratan ini dari kaum mukminat, maka Nabi mengatakan kepada beliau, “Aku telah membaiatmu” dengan ucapan. Dan demi Allah, tangan Rasulallah tidak menyentuh tangan para wanita di saat baiat sedikit pun, dan tidak pula beliau membaiat mereka melainkan hanya dengan ucapan “Aku telah membaiatmu atas hal itu”. Demikianlah lafadh Imam Bukhari.
Kalau kita perhatikan kalimat hadits diatas Aisyah ra. memberitakan hadits di atas adalah dari penuturan Nabi saw. sendiri, bukan dari dirinya pribadi semata namun berangkat dari ilmu/pengetahuannya secara pasti dari penuturan Nabi!!! Aisyah ra. sendiri berani bersumpah demi Allah bahwa nabi tidak pernah menyentuh tangan wanita sedikitpun… apakah sumpah Aisyah menunjukkan ketidaktahuan Aisyah tentang peristiwa baiat sebenar- nya sebagaimana yang dituduhkan oleh DR. Mahmud Khalidi, an-Nabhani, al-Baghdadi dan selainnya dari golongan yang membolehkannya ?
Sesungguhnya ada perawi yang menghadiri langsung peristiwa baiat dan menegaskan secara jazm (pasti) tentang ketiadaan jabat tangan atau persentuhan tangan Rasulallah dengan para wanita. Perhatikanlah baik-baik riwayat berikut ini :
Imam Ahmad berkata: Menceritakan kepadaku Abdurrahman bin Mahdi, mengabarkan kepadaku Sufyan bin Muhammad bin al-Munkadir dari Umaimah binti Ruqoiyah beliau berkata: “Aku mendatangi Rasulallah saw. beserta para wanita untuk membaiatnya, lantas beliau mengambil (baiat) atas kami sebagai mana tertera di dalam al-Qur’an supaya kami tidak menyekutukan Allah dengan suatu apapun, kami tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak membunuh anak-anak kami dan tidak akan berbuat dusta yang kami ada-adakan antara tangan dan kaki kami serta kami tidak akan mendurhakaimu dalam perkara yang ma’ruf. Rasulallah bertanya : ‘Apakah mampu kalian melaksanakannya?’, mereka menjawab: “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengasihi kami daripada kami sendiri.” Kami berkata : ‘Wahai Rasulallah, tidakkah kau berjabat tangan dengan kami?’, Rasulallah menjawab; ‘Aku tidak berjabat tangan dengan wanita, sesungguh- nya perkataanku terhadap seorang wanita sama dengan perkataanku terhadap seratus wanita.’ ”
Sanad hadits ini shahih, dan telah meriwayatkan pula at-Turmudzi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah dari hadits Sufyan bin Uyainah serta an-Nasa’i meriwayatkan dari Tsaur dan Malik bin Anas, seluruhnya dari jalur Muhammad bin al-Munkadir. Turmudzi berkata : hasan shahih, dan kami tidaklah mengetahui- nya melainkan dari jalur Muhammad al-Munkadir. Ahmad juga meriwayatkan dari hadits Muhammad bin Ishaq dari Muhammad bin al-Munkadir dari Umaimah sebagaimana lafazh di atas namun dengan tambahan “dan wanita tidaklah menjabat tanganku”, demikianlah yang diriwayatkan Ibnu Jarir dari jalur Musa bin ‘Uqbah dari Muhammad bin al-Munkadir. (Lihat : Tafsir al-Qur’an al-Azhim karya Imam Abil Fida’ Isma’il bin Katsir ad-Dimasyqi dan lainnya). Tidakkah lafadh hadits di atas lebih muhkam daripada hadits Ummu Athiyah sedangkan Umaimah sendiri adalah perawi yang menyaksikan dan hadir di saat baiat?!!
Beberapa kaidah lain berikut ini yang menunjukkan kebatilan dan kelemahan pendapat anda di atas:
Imam Syaukani di dalam Irsyadul Fuhul menyatakan bahwa : Hadits al-Qoul (ucapan) lebih dikedepankan ketimbang al-Fi’lu (perbuatan), dan al-Fi’lu lebih dikedepankan daripada at-Taqrir (persetujuan)!
Lantas, apakah hadits yang (diklaim) menyatakan jabat tangan itu mubah, yaitu hadits Ummu Athiyah dan semisalnya berbentuk ucapan (Qoul an-Nabi)? Ataukah berbentuk fi’lu ? Ketahuilah bahkan kebanyakan dalil yang meng- haramkan berbentuk ucapan. Jadi sekiranya kita menganggap kedua dalil di atas kontradiktif, seharusnya metode jam’u (kompromi) yang digunakan adalah hadits yang berbentuk al-Qoul lebih didahulukan ketimbang yang berbentuk al-Fi’lu.
“Larangan lebih didahulukan ketimbang kebolehan” (Lihat Irsyadul Fuhul karya al-Imam asy-Syaukani, hal. 279)
Dengan kaidah di atas seharusnya kita lebih mendahulukan larangan berjabat tangan dengan lawan jenis daripada menetapkan kemubahannya.
“Ihtimal (kemungkinan) yang sedikit lebih didahulukan ketimbang ihtimal yang banyak.” (Lihat Irsyadul Fuhul karya al-Imam asy-Syaukani, hal. 279).
Bukankah hadits riwayat Ummu ‘Athiyah dan semisalnya sebagai dalil yang memperbolehkan jabat tangan memiliki ihtimal yang lebih banyak ketimbang hadits-hadits yang mengharamkan?
“Dalil yang Muhkam (tegas) lebih didahulukan ketimbang dalil yang ghoiru muhkam (tidak tegas).” (Lihat Irsyadul Fuhul karya al-Imam asy-Syaukani, hal. 279).
Bukankah dalil-dalil yang mengharamkan jabat tangan lebih muhkam daripada dalil yang menyatakan mubah? Bahkan di dalam hadits riwayat Ummu Athiyah tidak ada ketegasan (muhkam) sama sekali tentang adanya jabat tangan atau persentuhan tangan dengan Nabi saw., sedangkan hadits yang menunjukkan keharamannya seluruhnya secara tegas menyatakan ketiadaan jabat tangan Nabi saw. terhadap kaum wanita.
“Didahulukan yang al-Maqrun at-Taukid (disertai dengan lafazh penguat/penekan) ketimbang yang tidak disertai.” [Lihat Irsyadul Fuhul karya al-Imam asy-Syaukani, hal. 279].
Perhatikanlah sumpah yang disampaikan oleh Aisyah ra., yang merupakan penguat yang paling tinggi, dimana riwayat Ummu Athiyah dan semisalnya tidak memiliki taukid (penekan) sama sekali. Perhatikan pula sabda Nabi saw. yang menyatakan : “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita” dimana beliau mendahulukan kata Inni yang bermakna kesungguhan dan penguat yang jelas akan ketiadaan jabat tangan terhadap kaum wanita.
“Didahulukan yang khosh (khusus) dibandingkan yang ‘am (umum).” [Lihat Irsyadul Fuhul karya al-Imam asy-Syaukani, hal. 279. ]
Bukankah hadits Umaimah mengandung pengkhususan yang menyatakan bahwa Rasulallah saw. tidak menjabat tangan wanita, sedangkan riwayat Ummu Athiyah dalam bentuk umum? Oleh karena itu yang khusus lebih didahulukan ketimbang yang umum.
Alasan kelima:
Hadits-hadits yang menunjukkan larangan ‘menyentuh wanita’ serta hadits-hadits lain yang maknanya serupa,. misalnya hadits shahih yang berbunyi: “Ditikam seseorang dari kalian dikepalanya dengan jarum dari besi, itu lebih baik dari pada menyentuh seorang wanita yang tidak halal baginya.” [HR. Thabrani]. Atau hadits yang berbunyi: “Lebih baik memegang bara api yang panas dari pada menyentuh wanita yang bukan muhrim.”
Menurut golongan yang membolehkan berjabat tangan, menjelaskan bahwa kata ‘massa’ yang artinya ‘menyentuh’ dalam hadits tersebut adalah lafadh musytarak (memiliki makna ganda) yakni bisa berarti ‘menyentuh dengan tangan’ atau ‘bersetubuh’. Selain itu pengertian ‘menyentuh’ juga sering digunakan kata ‘lamasa’ yang juga memiliki makna ganda, yakni bisa berarti ‘menyentuh dengan tangan’ atau ‘bersetubuh’… dst hingga kalimat…
Walaupun kata ‘massa’ dapat diartikan dengan ‘menyentuh dengan tangan’ tetapi dalam hadits-hadits yang digunakan oleh golongan yang mengharamkan jabat tangan dengan wanita bukan muhrim, ini lebih tepat jika diartikan dengan ‘bersetubuh’.
Sebab jika di artikan dengan ‘menyentuh dengan tangan’ maka pengertian ini bertentangan dengan hadits shahih yang diriwayatkan Ummu ‘Athiyah r.a. dimana tangan Rasulallah sawyang mulia telah menyentuh (berjabat tangan) dengan wanita yang bukan muhrim.
Jawabannya:
Hadits yang dimaksud adalah hadits yang diriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar ra, bahwa Rasulallah saw. bersabda: “Sungguh jika salah seorang dari kalian ditusuk kepalanya dengan jarum besi adalah lebih baik daripada menyentuh wanita yang bukan muhrimnya.” (Shahih, diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan al-Haitsami).
Al-Manawi berkata: ‘Menurut al-Haitsami, para perawinya shohih (dari Faidhul Qadir, jilid V, hal.58). Sedangkan al-Mundziri mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan al-Baihaqi, dan para periwayat ath-Thabrani tsiqoh dan shohih.
Takwilan golongan ini yang menyatakan bahwa kata massa di dalam lafadh hadits di atas bermakna jima’ (bersetubuh) adalah bathil/salah dari sisi bahasa dan dari sisi mafhum. Karena memalingkan makna dari hakikatnya adalah harus dengan qorinah (indikasi) yang dapat memalingkan makna zhahir kepada makna selainnya. Memang benar, bahwa kata massa memiliki makna jima’ dalam beberapa ayat dan hadits, tentunya hal ini jika disertai qorinah yang kuat akan penakwilan lafazh ini kepada makna jima’. Berikut ini penjelas- annya :
Allah Ta’ala berfirman :
Yang artinya: “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kalian, jika kalian menceraikan isteri-isteri kalian sebelum kalian tamassuhunna (mencampuri/jima’ dengan mereka) dan sebelum kalian menentukan maharnya.” (al-Baqoroh : 263).
“Jika kamu menceraikan isteri-isteri kalian sebelum kalian tamassuhunna (mencampuri mereka) padahal kalian sesungguhnya telah menentukan mahar nya…” (al-Baqoroh : 237).
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi wanita-wanita mukminah kemudian kalian ceraikan mereka sebelum kalian tamassuhunna (mencampuri mereka) maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah…” (al-Ahzaab : 49).
Ayat-ayat di atas memiliki qorinah yang dapat memalingkan makna massa kepada jima’ yaitu adanya penjelasan yang berkaitan tentang muamalah dengan isteri seperti pembayaran mahar, tholaq, iddah dan semisalnya. Hal ini juga didukung dengan pemalingan makna pada selain kata massa seperti pada kata lamasa dan ifdho seperti dalam firman Allah : “Bagaimana kamu akan ambil kembali, padahal sebagian kamu telah afdhoo (bercampur) dengan selainnya (sebagai suami isteri).” (an-Nisa’ : 21).
Oleh karena itulah para mufassirin dan fuqoha’ menyatakan bahwa kata-kata massa dan semisalnya di sini yang memang memiliki qorinah untuk dipalingkan dari makna hakikinya adalah suatu keniscayaan, juga dalam ayat 20 Surat Maryam yang artinya : “Maryam berkata: ‘Bagaimana aku bisa mempunyai anak laki-laki sedangkan tidak pernah seorang manusiapun yang yamsasnii (menggauliku) dan aku bukan (pula) seorang pezina.” Jika kita perhatikan, maka akan tampak dengan jelas qarinah-nya yang menyatakan hasil dari massasa yakni lahirnya seorang anak laki-laki. Apakah mungkin menyentuh dalam arti sebenarnya dapat menghasilkan seorang anak laki-laki? Oleh karena itu pemalingan makna dalam konteks yang didukung oleh qorinah semacam ini adalah suatu keniscayaan.
Adapun hadits : “Apabila kemaluan menyentuh kemaluan (bersetubuh), maka wajiblah mandi”, maka makna dari qorinah yang tersirat adalah bermakna jima’. Sebab jima’ sendiri dalam kitab-kitab fikih bermakna ‘masuknya (tenggelamnya) kepala penis hingga hilang ke dalam farji (vagina) wanita”. Jika hanya terjadi pergesekan belaka (menurut fiqih Imam Syafi’i wajib mandi—peng.) maka belum bisa dikatakan jima’ yang mewajibkan mandi (jika tidak keluar mani) ataupun hukum had bagi penzina diberlakukan. Bahkan al-Massu juga bisa bermakna junun (gila) dan kesurupan seperti di dalam firman Allah yang artinya : “Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran peyakit gila…” (al-Baqoroh : 275).
Oleh karena itu, memalingkan makna massa atau selainnya ke luar dari makna sebenarnya tanpa ada qorinah pendukung pemalingan maknanya adalah suatu kebodohan terhadap bahasa, seperti dalam hadits nabi saw. di atas yang menyatakan “Sungguh jika salah seorang dari kalian ditusuk kepalanya dengan jarum besi adalah lebih baik daripada menyentuh wanita yang bukan muhrimnya.”
Sebab lafadh di atas adalah sama dan saling menguatkan dengan lafadh riwayat hadits-hadits berikut ini : Ma’mar berkata:
Mengabarkan kepadaku Ibnu Thawus dari bapaknya, beliau berkata: “Tidaklah tangan (nabi) menyentuh wanita melainkan wanita yang dimiliki-nya.” Dan diriwayatkan dari Aisyah di dalam ash-Shahih, beliau berkata : “Tangan nabi tidak pernah menyentuh tangan wanita.” Dan beliau (nabi) bersabda : “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita, sesungguhnya ucapanku terhadap seorang wanita seperti ucapanku kepada seratus wanita,” (Lihat Ahkamul Qur’an karya Abu Bakr Muhammad bin Abdillah Ibnul Arobi dan lainnya),
Sebab kata massa sendiri bermakna : menyentuh dengan tangan ‘lamasahu wa afdhoo ilaihi biyadihi’ (Lihat al-Mu’tamad, karya Abu Abdirrahman Muhammad Abdillah Qosim, hal. 650).
Memalingkannya dari makna sebenarnya memerlukan qorinah yang mendukung pemalingan lafadh tersebut dari makna hakikatnya, yang mana jika tidak dipalingkan maknanya maka maknanya akan menjadi ghoyru mustaqim (tidak lurus/tepat). Jika sekiranya ayat-ayat di al-Baqoroh dan al-Ahzab serta Maryam di atas tidak dipalingkan maknanya menjadi jima’, niscaya akan ‘pincang’ pemahaman yang timbul dari ayat tersebut dan menimbulkan kerancuan di dalam hukum tholaq, iddah, mahar dan semacamnya.
Namun, memalingkan makna hadits tentang “lebih baik ditusuk jarum besi daripada menyentuh wanita” kepada makna jima’ (bersetubuh) akan menimbulkan kepincangan pemahaman dan pengkhususan hanya kepada jima’ saja. Pemalingan makna ini tidak tepat karena tidak ditopang oleh adanya qorinah (indikasi) yang dapat memalingkannya. Penakwilan semacam ini adalah penakwilan yang berangkat dari hawa nafsu dan fanatik terhadap pendapat an-Nabhani yang memperbolehkan jabat tangan. Jika sekiranya penakwilan di atas benar, maka adakah pendahulu (salaf) dari para ulama hadits yang menafsirkan makna hadits ini sebagaimana penafsiran golongan ini. Dengan demikian riwayat-riwayat diatas tidak saling bertentangan bahkan saling menguatkan.
Alasan keenam:
Selain itu Rasulallah saw pernah berjabat tangan di dalam air, dalam benjana pada saat membai’at wanita, pernah juga Rasulallah saw berjabat tangan dengan alas kain. Juga diriwayatkan bahwa Rasulallah saw pernah menyuruh Umar bin Khaththab r.a untuk mewakili beliau dalam bai’at dan bai’at ini dilakukan dengan berjabat tangan. Kalau memang berjabat tangan (menyentuh) dengan wanita diharamkan, tentunya Rasulallah saw. tidak akan melaksanakannya baik secara langsung maupun dengan perantara apapun. Juga tidak mungkin Rasulallah saw memerintahkan Umar bin Khaththab r.a. melakukan jabat tangan (menyentuh) dengan wanita yang bukan muhrim, sebab hal tersebut adalah perbuatan yang haram. Akan tetapi ternyata yang terjadi justru sebaliknya. Selain itu, banyak riwayat yang menyatakan, bahwa Rasulallah saw dan ‘Umar bin Khaththab pernah berjabat tangan dengan wanita (lihat Imam al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkâm al-Qur’an; Qs. al-Mumta hanah: 12).
Jawabannya:
Sesungguhnya menyampaikan hadits-hadits dha’if tanpa menerangkan kedha’ifannya adalah termasuk berdusta atas nama nabi saw.
Jika anda berdalil dengan riwayat di dalam at-Tafsirul Kabir karya ar-Razi (VIII/hal. 137) yang menyatakan tentang telah diriwayatkannya bahwa sayyidina Umar ra. pernah berjabat tangan dengan wanita dalam baiat mewakili Rasulallah saw., maka ketahuilah bahwa Al-Qodhi Abu Bakar bin al-Arobi telah menanggapi pendapat ini. Menurutnya riwayat itu dha’if, dan seyogyanya berpaling kepada yang shahih.
Sedangkan al-Hafidh Waliyyudin Abu Zar’ah al-Iraqi mengatakan, sebagian ahli tafsir menyebutkan bahwa nabi saw. pernah minta diambilkan semangkuk air. Lalu beliau mencelupkan tangannya ke dalamnya. Kemudian para wanita melakukan hal yang sama. Juga sebagian ahli tafsir ada yang mengatakan bahwa nabi berjabat tangan dengan mereka melalui tabir kala itu. Pada tangan beliau ada kain baju guthri. Juga dikatakan bahwa sayyidina Umar telah berjabat tangan dengan mereka. Sungguh, tidak ada satupun pernyataan itu yang benar, apalagi pernyataan yang terakhir. Bagaimana mungkin sayyidina Umar ra. berani melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh al-Ma’shum Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. (Lihat “Berjabat Tangan Dengan Perempuan” oleh Muhammad Ismail, hal. 36-37) .
Semua riwayat itu adalah dhaif riwayatnya. [Lihat al-Jami’ li Ahkaamil Qur’an, karya Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshori al-Qurthubi, Kata pengantar: Fadhilatus Syaikh Kholil Muhyiddin al-Mass (Direktur Azhar Lebanon), Pengoreksi: Muhammad Jamil. Pentakhrij dan Pengomentar hadits; asy-Syaikh ‘Arfan al-‘Isyaa, jilid VI, juz. 28, 1995/1415, Darul Fikr, Beirut, hal. 64 (catatan kaki no.2) ]
Golongan ini telah menyembunyikan kebenaran dan melakukan tadlis kepada para pembacanya yang mayoritas awam. Setelah saya (Abu Salma) cek buku al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an [ Lihat al-Jami’ li Ahkaamil Qur’an, karya Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshori al-Qurthubi, Kata pengantar: Fadhilatus Syaikh Kholil Muhyiddin al-Mass (Direktur Azhar Lebanon), Pengoreksi: Muhammad Jamil. Pentakhrij dan Pengomentar hadits : asy-Syaikh ‘Arfan al-‘Isyaa, jilid VI, juz. 28, 1995/1415, Darul Fikr, Beirut, hal. 63] ternyata Imam Qurthubi menukil di baris-baris pertama tafsirnya terhadap surat al-Mumtahanah ayat 12 ini dengan riwayat Aisyah yang menafikan jabat tangan bagi Rasulillah saw.. Penempatan nukilan terhadap riwayat Aisyah ini menunjukkan kekuatan riwayat Aisyah menurut beliau. Kemudian al-Qurthubi rahima hullahu mengatakan: “Diriwayatkan bahwasanya nabi ‘alaihish sholatu was salam membaiat para nabi dan diantara tangannya dan tangan kaum wanita ada selembar kain.”
Saya (abu salma) berkata: Bagi para penuntut ilmu pastilah akan mengetahui bahwa lafadh yang digunakan oleh Imam al-Qurthubi adalah lafazd yang menunjukkan akan kedhaifan suatu hadits atau keraguan beliau akan keshahihannya, karena beliau mengatakan dengan lafazh ruwiya (diriwayat kan) yang mana ini telah dikenal di kalangan muhadditsin bahwa kata periwayatan yang disandarkan kepada nabi secara tidak jazim sebagaimana perkataan qoola atau haddatsa dan semisalnya adalah suatu bentuk keraguan akan keshahihannya atau bahkan isyarat akan kedhaifannya.
Syaikh ‘Arfan al-‘Isyaa mengomentari hadits di atas dengan perkataan : wa huwa mukhoolif lish shohih (riwayat ini menyelisihi hadits yang shohih). Kemudian beliau menukil hadits shohih yang diriwayatkan dari jalur Muhammad al-Munkadir yang telah lewat penyebutannya. Beliau mentakhrij hadits Muhammad al-Munkadir sebagai berikut : “Diriwayatkan oleh an-Nasa’i di dalam al-Bai’ah (V/149) bab (18) Bai’atun Nisai, Turmudzi secara ringkas (1598) dan Ibnu Majah di dalam al-Jihad (2874) bab Bai’atun Nisa’. Saya berkata : hadits yang menyelisihi hadits yang shohih adalah syadz dan termasuk hadits dha’if karena syarat hadits shahih haruslah selamat dari syadz. [Syarat hadits shohih ada 5, yakni : Sanadnya muttashil (bersambung), Perawinya ‘Adil, Perawinya Dhabith (hafalan yang kuat dan mantap), Tidak syadz,Tidak memiliki illat. Lihat Syarh Manzhumah al-Baiquniyah fi Mushtholahil Hadits, karya Syaikh Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin, cet. I, 1423/2002, Dar ats-Tsuroyyah, hal. 28; Taisir Mushtholahil Hadits, karya DR. Mahmud Thohhan, Darul Fikr, hal. 30.]
Adapun riwayat Umar yang berjabat tangan dengan para wanita, juga disebut kan oleh Imam Qurthubi dengan lafadh yang tidak jazim pula penisbatannya yaitu beliau mengatakan dengan lafazd qiila (dikatakan), yang hal ini menunjukkan keraguan beliau akan keshahihan hadits ini. Syaikh ‘Arfan al-‘Isyaa mengomentari riwayat Umar ini sebagai berikut : “al-Hafidh mengisyaratkan di dalam al-Fath (VIII/637) dari riwayat Thabrani dengan lafadh: ath-Thabrani telah mengeluarkan hadits bahwasanya Rasulallah membaiat para wanita melalui perantaraan Umar, tanpa ada penyebutan jabat tangan. Dan penyebutan jabat tangan ini adalah perkara yang jauh dikarenakan menyelisihi yang shohih dari Rasulillah saw.
Riwayat jabat tangan Umar dengan para wanita adalah riwayat yang mardud tidak layak dijadikan hujjah/dalil karena menyelisihi dalil yang lebih shohih, sehingga statusnya menjadi syaadz maka hukumnya dho’if. Wallahu a’lam. Apalagi tidak ada keterangan dari para ulama hadits yang menshahih- kannya ataupun menghasankannya!!
Alasan ketujuh:
Juga kalau memang berjabat tangan (bersentuhan) antar lawan jenis yang bukan muhrim itu diharamkan, tentunya Daulah Khilafah (negara Khilafah) tidak akan membiarkan kondisi-kondisi atau keadaan yang sangat memungkin kan terjadi persentuhan. Bahkan Daulah akan memberikan sanksi/hukuman bagi yang melakukannya. Ternyata tidak ada satu riwayat pun yang menyata- kan bahwa Daulah pernah melakukannya. Dan bahkan Daulah tidak pernah memisahkan antara jama’ah haji pria dan wanita, juga antara pria dan wanita di pasar walaupun kondisi tersebut akan menyebabkan terjadinya bersentuhannya pria dan wanita yang bukan muhrim.
Jawabannya:
Ketiadaan tidaklah menafikan hukum. Karena yang menjadi dalil adalah al-Qur’an dan as-Sunnah, bukannya Nizhom Daulah. Seandainya memang anda belum menemukan adanya sanksi hukum jabat tangan atau persentuhan lawan jenis non muhrim di dalam Nizhom Daulah bukan berarti bahwa jabat tangan dengan ajnabiyah adalah mubah.
Kaum muslimin terdahulu yang hidup di zaman kekhalifahan, mereka semua telah mengetahui akan keharaman berjabat tangan dengan ajnabiyah sehingga telah maklum di kalangan mereka tentang syariat ini, sehingga tidak perlu dibuat undang-undang khusus yang akan memberikan sanksi kepada pelanggarnya. Hal ini sebagaimana pelanggaran kemaksiatan seperti orang yang memandang wanita, mengintip mereka ataupun berjalan di belakang mereka atau menggoda mereka. Apakah ada undang-undang daulah yang memberikan sanksi jelas yang termaktub di dalam nizhom-nya terhadap pelanggaran semacam ini? Jika ada berikan bukti kepada kami.
Masalah pemisahan haji antara pria dan wanita adalah kiyas konyol dan menggelikan yang sangat lucu bila digunakan untuk memperbolehkan persentuhan dengan sengaja. Karena kondisi haji adalah kondisi darurat yang memperbolehkan adanya persentuhan tanpa sengaja. Demikian pula dalil anda tentang kemungkinan terjadinya persentuhan di dalam pasar. Disinilah letak kesalahan terhadap syariat Islam itu sendiri, karena Islam telah memberikan rambu-rambu yang jelas dimana kaum wanita lebih baik berdiam di dalam rumah dan dilarang keluar kecuali jika ada hajat atau dalam keadaan darurat.
Sedangkan bagi kaum wanita ke pasar bukanlah suatu hal yang darurat atau hajat syar’i, karena pasar adalah tempat bagi kaum lelaki bukan kaum wanita. Taruhlah wanita harus pergi ke pasar, jika terjadinya persentuhan maka persentuhan tersebut bukanlah suatu hal yang disengaja, lantas bagaimana bisa kiyas diberlakukan pada dua hal yang saling bertolak belakang, yaitu antara sengaja dengan tidak sengaja?
Alasan kedelapan:
Pendapat yang mengharamkan berjabat tangan antara pria dan wanita bukan muhrim juga di dasarkan pada sabda Rasulallah saw: “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita.” [HR. Malik, Tirmidzi dan Nasa’i].
Hadits di atas serta hadits-hadits lain yang serupa sering dijadikan dalil untuk mengharamkan berjabat tangan dengan bukan muhrim. Pendapat ini adalah lemah, sebab perkataan Rasulallah saw, “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita.” tidak menunjukkan larangan berjabat tangan, tetapi hanyalah mencegah dari perbuatan mubah. Hukum mubah ini di dasarkan pada hadits shahih yang diriwayatkan Ummu ‘Athiyah. Karena hukumnya mubah, maka terserah saja bagi Rasulallah saw. dan bagi kaum muslimin lainnya apakah berjabat tangan (Lihat riwayat Ummu ‘Athiyah dan Ath-Thabrani dari ‘Aisyah r.a.) atau meninggalkan berjabat tangan (seperti hadits riwayat Malik, Tirmidzi dan Nasa’i).
Jawabannya:
Bagaimana mungkin perbuatan mubah dicegah jika perbuatan itu bukannya perbuatan yang haram atau minimal makruh ?
Anda di dalam kaidah anda ini menempatkan diri anda dalam keadaan yang penuh dengan kontradiktif, karena anda sendiri mengklaim bahwa Rasulallah saw. berjabat tangan dengan kaum mukminat atau menyentuh mereka dari hadits Ummu Athiyah. Namun di sisi lain anda menetapkan hadits Nabi saw yang berbunyi : “sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita” dengan artian nabi mencegah dari perbuatan mubah jabat tangan.
Wahai saudara, bagaimana mungkin anda menetapkan dua hal kontradiktif secara sekaligus dalam satu waktu, anda menetapkan bahwa Rasulallah berjabat tangan dengan wanita sedangkan di sisi lain anda juga secara tidak langsung turut menetapkan (mengakui) hadits : ‘Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita’.
Apakah mungkin Nabi saw. mengatakan “sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita” sedangkan dalam riwayat lain beliau menyalahinya? Lantas dimana kebenaran sabda nabi “sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita” jika nabi melanggar sabdanya sendiri? Maka, pendapat seperti itu pada hakikatnya menggiring kepada pendustaan terhadap sabda-sabda nabi yang shahih dan menuduh nabi saw. tidak melaksanakan apa yang ia katakan…
Maka pendapat yang selamat adalah pendapat yang menyatakan keharaman berjabat tangan, karena pendapat ini adalah pendapat yang paling selamat dari kontradikitif dan dari segala keburukan!
Alasan kesembilan:
Pendapat yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan muhrim mensyaratkan harus tanpa syahwat. Kalau ada syahwat maka hukumnya haram. Karena itu para ulama yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan muhrim mengingatkan karena antara syahwat dan tidak itu sangat samar, maka haruslah kita berhati-hati pada saat berjabat tangan. Terutama sekali kalau yang berjabat tangan adalah pria dan wanita muda yang sebaya, sebab sangat mungkin menimbulkan syahwat atau menimbulkan fitnah. Kalau tidak khawatir timbul fitnah maka tidak apa-apa berjabat tangan dengan bukan muhrim. Misalnya dengan orang-orang yang sudah tua atau dengan anak-anak kecil.
Jawabannya:
Bukankah suatu perkara yang menghantarkan kepada keharaman adalah haram? Anda mengatakan bahwa ‘jika dimungkinkan bahwa jabat tangan menimbulkan fitnah dan memunculkan syahwat maka tidak boleh melakukan nya’, maka saya (abu salma) katakan : inilah letak syarat ‘angan-angan’ anda, karena sesuatu yang menghantarkan kepada keharaman adalah haram, dan telah jelas bahwa jabat tangan dengan wanita ajnabiyah sangat memungkin kan untuk menghantarkan keharaman (menimbulkan syahwat—pengutip) dan kepada zina. Oleh karena itu perkataan anda : ‘Kalau ada syahwat maka hukumnya haram’ adalah hujjah/dalil atas anda sendiri!
Ingatlah sabda nabi: “Perempuan itu seluruhnya adalah aurot. Jika ia keluar, maka setan menghiasinya (di dalam pandangan pria).” (HR. Turmudzi).
Al-Allamah asy-Syinqithi rahimahullahu berkata: “Seluruh anggota badan perempuan adalah aurot yang wajib ditutupi. Sedangkan perintah untuk menjauhi memandang kepadanya adalah semata-mata karena takut tergelincir kepada fitnah. Tidak ragu lagi, bahwa sentuhan badan ke badan yang lain lebih kuat dan besar pengaruhnya terhadap naluri, watak dan lebih dahsyat mengajak kepada fitnah daripada sekedar memandang dengan mata. Setiap orang yang berlaku adil pasti mengetahui kebenaran hal itu.” [Lihat kitab Adhwa’ul Bayan, oleh al-Allamah Muhammad Amin asy-Syinqithi, jilid VI, hal. 603, sebagaimana di dalam “Berjabat Tangan Dengan Perempuan” oleh Muhammad Ismail, hal. 22.]
Katakan, wahai saudara, apakah ketika anda berjabat tangan dengan akhowat (baca: para muslimah), anda yakin bahwa syahwat dan fitnah tidak akan muncul dari diri anda dan diri akhowat tersebut? Jika demikian adanya, maka sungguh benar jika ada orang yang mengatakan bahwa
orang yang menyatakan halalnya jabat tangan dengan ajnabiyah tidak memiliki syahwat! Bukankah an-Nabhani rahimahullahu sendiri telah mengatakan bahwa manusia memiliki Ghorizatun Nau’ (naluri untuk melanggengkan keturunan) yang munculnya karena adanya stimulasi dari luar (faktor eksternal)? Lantas apakah jabat tangan dengan wanita ajnabiyah tidak termasuk stimulus Gharizah an-Nau’ ? fa’tabiru ya ulil albaab!
Alasan kesepuluh:
Perlu diingat bahwa sesuatu yang mubah tidak harus selalu dilakukan. Sebab kalau itu tidak berguna dan dapat menimbulkan fitnah lebih baik dihindarkan…
Bagi mereka yang mengikuti pendapat yang membolehkan setelah sampai penjelasan yang meyakinkan, maka mubahlah hukumnya bagi mereka. Allah swt. akan meminta pertanggung-jawaban atas perbuatannya berdasarkan pendapat yang terkuat yang telah ia ikuti. Walaupun berbeda pendapat kaum muslimin tetap bersaudara. Tidak boleh hanya karena perbedaan pendapat yang masih dibolehkan tersebut, sesama muslim saling menfitnah dan menjelek-jelekan orang yang berbeda dengan mereka. Yang jelas kita wajib mengikuti pendapat yang terkuat tanpa dicampuri adanya perasaan suka atau tidak suku. Wallahu a’lam.
Jawabannya:
Ini adalah letak keraguan anda terhadap pendapat anda. Dimana anda telah merasa khawatir akan imbas dari munculnya pemahaman anda yang ‘nyeleneh’ ini dan anda seolah-olah merasa bahwa pendapat dan pemahaman anda ini adalah ghorib dan syadz di dalam Islam sehingga sangat memungkin- kan anda akan difitnah dan dijelek-jelekkan oleh orang yang berbeda dengan pemahaman anda. Saya katakan : bahwa apa yang diucapkan oleh penentang pemahaman anda berupa cercaan dan hinaan adalah cercaan dan hinaan atas pemahaman anda yang bathil, yang bukan merupakan fitnah tak berdasar, namun berangkat dari kecemburuan terhadap agama ini.
Anda benar, bahwa kita wajib mengikuti pendapat yang terkuat tanpa dicampuri perasaan suka dan tidak suka, karena hal ini diikat oleh syara’, maka apa yang dikatakan jelek oleh syara’ adalah jelek dan apa yang dikatakan baik oleh syara’ adalah baik. Oleh karena itulah, coba cermatilah kembali dan telaah kembali pemahaman anda, jika salah walaupun anda anggap baik tetaplah pemahaman anda itu salah dan wajib anda tinggalkan, haram anda sebarkan dan anda pertahankan hidup mati. Jika anda masih mempertahankannya maka siaplah anda menerima cercaan dan hinaan atas kebodohan akal dan pemahaman anda tersebut!
Alasan kesebelas:
Golongan yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan muhrim, bukanlah karena mereka senang berjabat tangan dengan bukan muhrim. Tetapi karena mereka tidak berani untuk mengharamkan sesuatu yang secara jelas Allah swt telah membolehkannya lewat perbuatan Rasul-Nya. Sebab termasuk dosa besar kalau ada orang yang berani mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah swt atau menghalalkan sesuatu yang diharamkan oleh Allah swt. Sebab Rasulallah saw bersabda: “Sesungguhnya orang yang mengharamkan sesuatu yang halal sama dengan orang yang menghalalkan sesuatu yang haram.” [HR. As-Sihab].
Jawabannya:
Saya (Abu Salma) kembalikan lagi dalil tersebut kepada anda, apakah anda berani menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya? Jika anda beranjak dari pemahaman dalil di atas, maka seharusnya anda menarik pemahaman ganjil anda yang menghalalkan perkara yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya sebagaimana telah saya cantumkan dalill dan keterang annya. Wallahu a’lam. Demikianlah keterangan mengenai hukum jabatan tangan antara wanita dan lelaki yang bukan muhrim. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Post a Comment