Sekarang kita sudah ada di ambang pintu hari raya Idul Fitri – hari kemenangan – setelah sebulan penuh kita menjalankan ibadah puasa Ramadan. Perlu disyukuri bahwa untuk hari raya Idul Fitri tahun ini (kemungkinan besar) kita akan merayakan secara bersama-sama tidak ada perbedaan yakni jatuh pada hari Jum’at, 10 September 2010.
Kebersamaan ini kiranya sangatlah besar artinya bagi kita bangsa Indonersia yang sekarang ini masih menyelami – masa anomi – masa transisi – masa di mana nilai-nilai lama telah kita tinggal namun belum menemukan nilai-nilai baru. Sehingga sangatlah tepat jika dijadikan sebagai momentum kebersamaan untuk memperbaiki kondisi masyarakat dan negara yang carut marut sosial politik, carut marut sosial ekonomi dan carut marut sosial budaya untuk menuju pada mewujudkan masyarakat yang benar-benar madani yang penuh dengan nilai-nilai moral, berperikemanusiaan (humanis) dan berkesalehan sosial.
Makna Idul Fitri
Idul Fitri yang arti secara bahasa kembali ke fitrah kemanusiaan, juga sering disebut sebagai hari kemenangan, karena ia datang didahului oleh peperangan atau pertandingan ; pertandingan antar suara kalbu yang mengajak ketakwaan dan bisikan hawa nafsu. Jadi istilah kemenangan ini lahir karena adanya proses pertandingan di bulan Ramadan dengan kesediaan diri berpuasa, melakukan tarawih, tadarus, beriktikaf di masjid, mengeluarkan zakat, infak dan sadakah
Namun demikian ada pula orang yang merayakannya sebagai hari kemenangan. Padahal sebelumnya ia tidak ikut melakukan pertandingan apa-apa. Ia menang tanpa bertanding. Artinya ikut merayakan hari raya tanpa mau bersusah payah menahan diri dari godaan nafsu dan menjalankan syari’at puasa. Kepuasaan yang dirasakan oleh orang yang menang tanpa bertanding sifatnya semu.
Padahal hakekat Idul Fitri sebagai kembali ke fitrah kemanusiaa, terasa demikian penting dihadirkan saat ini, karena sampai sekarang negara kita belum menampakkan tanda-tanda membaik. Nampak nilai-nilai perikemanusiaan terasa sudah tidak diperdulikan. Untuk bisa kembali sebagai manusia yang fitri, kita harus menghadirkan makna puasa yang dijalankan selama satu bulan.
Sebagaimana ketika suatu hari, Rasulullah mendengar seorang wanita sedang memaki-maki pembantunya, padahal ia sedang berpuasa. Nabi lalu mengambil makanan dan berkata kepadanya : “makanlah !”. “Saya sedang puasa, ya Rasulullah”, jawab si perempuan. “Bagaimana mungkin berpuasa, padahal telah kau caci pembantumu. Puasa bukan hanya menahan makan dan minum. Allah menjadikan puasa sebagai penghalang dari hal-hal yang tercela”, ujar Nabi, lalu Nabi bersabda :”Alangkah sedikitnya orang yang berpuasa, tetapi sungguh banyak orang yang lapar.” Dari uraian ini, nampak bahwa ada perbedaan antara puasa dengan menahan diri.
Secara umum, para ahli fiqh mendefinisikan puasa dengan “menahan diri dari segala sesuatu yang merusak, dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah”. Dalam definisi tentang shaum, ada kata “imsak”. Dalam bahasa Arab, kata dasarnya adalah “amsaka” yang dapat disusul dengan “an” yang berarti “menahan diri dari” atau disusul dengan “bi” yang berarti “berpegang teguh pada perintah Allah dan Rasul”. Sehingga hakekat puasa pada dasarnya terletak pada “amsaka an” (menahan diri dari) dan “amsaka bi” (berpegang teguh pada perintah Allah dan Rasul). Sehingga dari sini, nampak bahwa banyak macam perilaku orang dalam menahan diri, ada yang dapat “amsaka an”, tetapi tidak ber”amsaka bi”, misalnya seorang menahan diri dari makan dan minum, tetapi bukan karena berpegang teguh pada ajaran Allah, melainkan hanya ingin melangsingkan tubuh atau mempercantik diri. Orang itu tidak namanya berpuasa, melainkan sedang diet.
Boleh jadi seseorang melakukan “amsaka bi”, tampaknya seperti berpegang teguh pada ajaran Allah, tetapi tidak “amsaka an”. Ia kelihatannya taat beribadah dan berpuasa, tetapi tidak bisa menahan diri untuk merugikan orang lain atau melakukan tindakan merusak. Seseorang berpuasa, tetapi ia tidak bisa menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang menodai nilai puasa, seperti mengumpat, menghujat, mengfitnah, mengprovokasi dan sejenisnya. Orang seperti ini bukan as-shawwam (orang berpuasa) tetapi hanyalah al-jawwa’ (orang lapar).
Sehingga dengan tuntasnya puasa Ramadan satu bulan utuh (amsaka an dan amsaka an) dengan amalan ibadah ritualitas dan ibadah sosial selama bulan Ramadan serta tradisi halal bi halal di hari raya Idul Fitri tahun ini semestinya dapat melahirkan insan-insan yang benar-benar bersih – suci dan noda kotoran dosa sebagai hamba Allah dan dosa-dosa sosialnya. Dan yang terpancar adalah nilai-nilai moral, berperikemanusiaan dan berkesalehan sosial.
Keshalehan Sosial
Idul Fitri tahun ini berlangsung di tengah suasana kehidupan bangsa kita yang masih mengalami cobaan dari Allah swt . Padahal, di sekililingnya banyak rakyat yang lapar, anak yatim yang meratap, pengangguran yang butuh pekerjaan. Padahal semuanya mengharapkan perdamaian, persaudaraan dan kebersamaan sehingga bisa hidup wajar sebagai manusia yang beradab bukan manusia yang biadab. Sehingga saat Idul Fitri kali ini kiranya tepat untuk dijadikan momentum untuk memulai menampakkan diri – menumbuhkan diri – mewujudkan diri nilai-nilai keshalehan sosial secara bersama-sama guyup rukun akur sebagai bukti diterimanya ibadah kita selama di bulan Ramadan. Sehingga mestinya Idul Fitri tahun ini bisa menjadi pijakan untuk kelangsungan kesalehan sosial dalam kehidupan kita sehari-hari.
Terkait dengan reformasi yang sedang kita jalani sekarang ini, kiranya ada dua hal yang harus dilakukan dalam menyelami kesucian kita (kefitrian kita). Pertama, terhadap hal-hal lama, kita harus dapat memilah-milah dan memilih-milih yang baik kita bertahankan, yang buruk harus dipugar seakar-akarnya. Kedua mewujudkan hal-hal baru yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh yang menyataakan : “al-Muhafadah ‘ala al-Qadim al-shalih, wa akhdu bi al-jadid al-ashlah” yang artinya memelihara tradisi lama yang bernilai baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih bagus.
Sehingga nilai-nilai yang lahir dari “amsaka an” dan “amsaka bi” dalam berpuasa, beribadah ritual, beribadah sosial dan berhalal bi halal yang nampak dalam perilaku keshalehan sosial kiranya dapat menjadi motor penggerak untuk dapat meluruskan roda reformasi yang sudah lama bergulir ini untuk mencapai tujuan idealnya yakni masyarakat madani.
Oleh H. Ahmad Izzuddin, M.Ag
Dosen Program Pasca Sarjana Konsentrasi Ilmu Falak IAIN Walisongo,
Pengasuh Pesantren Mahasiswa Daarun Najaah Jrakah Tugu Semarang
0 komentar:
Post a Comment