“Ingatlah, sesungguh-nya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Terlepas dari pro dan kontra mengenai sosok Syaikh Abdul Qadir al-Jilani , yang jelas ketokohan beliau dalam bidang Thariqah dan Tasawuf sangat masyhur, khususnya di negara kita. Hal itu bisa dibuktikan dengan menyebarnya thariqah beliau di seantero nusantara dan negera-negara lain di belahan bumi ini. Di Indonesia saja, manaqib beliau sangat terkenal dan dibaca di mana-mana oleh semua lapisan masyarakat, baik kalangan pejabat sipil, militer maupun rakyat biasa. Itu semua dapat kita jumpai ketika berlangsung acara-acara majlis dzikir, haul maupun majlis-majlis yang lain. Salah satunya yang terbesar adalah haul yang di selenggarakan oleh Jama’ah Al Khidmah di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya, yang tidak kurang dihadiri oleh tiga ratus ribu orang. Semua itu pada hakekatnya adalah bukti yang menunjukkan kedudukan beliau yang amat tinggi di sisi Allah swt, sehingga Allah swt memuliakan dan mengharumkan nama beliau. Walaupun beliau sudah tidak ada semenjak 867 tahun yang lalu.
Ketokohan beliau sangat masyhur dikalangan ahli thariqah. Di luar kalangan ahli thariqahpun nama beliau sangat harum. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah yang terkenal kritis terhadap para ahli tasawuf dalam beberapa fatwanya menyanjung dan memuji Syaikh Abdul Qadir al-Jilani . Beliau menyebutkan, bahwa karomah-karomah yang dimiliki oleh Syaikh Abdul Qadir dinukil secara mutawatir[1]. Beliau Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah sangat memuji Syaikh Abdul Qadir dengan pujian yang tidak pernah diungkap orang lain atau diungkapkan kepada orang lain, kecuali hanya sedikit. Beliau selalu menyertakan kata-kata qadda-sallahu sirrahu (mudah-mudahan Allah swt mensucikan ruhaninya) setiap kali menyebut nama Syaikh Abdul Qadir . Bahkan, beliau rahimahullah menulis sebuah artikel dalam fatwa-fatwanya yang mencakup terhadap penjelasan dan pengarahan terhadap sebagian kalimat dan makna yang terdapat dalam kitab Futuh al-Ghaib karya Syaikh Abdul Qadir al-Jilani .[2]
Nama beliau adalah Abu Sholih Abdul Qadir bin Musa bin Abdullah bin Yahya al-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa al-Jun bin Abdullah al-Mahdi bin Hasan al-Mutsana bin al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib.
Beliau dilahirkan di Jailan. Yaitu negeri terpencil di belakang Thabrastan, yang di kenal dengan Kail atau Kailan. Oleh karena itu para ulama berbeda pendapat ketika menisbatkan nama beliau kepada tanah kelahirannya. Sebagian ada yang menisbatkan wilayah Jilan ini menjadi Jili. Sebagian menisbatkannya menjadi Jilani (dan ini yang kami pakai karena penisbatan Jilani lebih masyhur dan terkenal dikalangan rakyat Indonesia).
Sebagian yang lain lagi menisbatkannya ke daerah Kailan menjadi Kailani. Sebagian orang yang menisbatkan beliau kepada Jilani mempunyai alasan karena beliau dilahirkan disana. Akan tetapi sebagian yang lain mengatakan bahwa penisbatannya kepada Jilani adalah karena Allah telah memberikan kepada Syaikh Abdul Qadir kedudukan yang sangat tinggi disisi-Nya sejak beliau berada di dalam kandungan ibunya (Innallaha tajalla ‘alaihi wahuwa fi bathni ummihi).
Beliau pernah ditanya kapan engkau mulai menjadi waliyullah? Beliau menjawab: “Sejak kanak-kanak, karena aku mendengar suara dari langit: ‘Ya Waliyallah lakukanlah seperti ini dan tinggalkanlah perkara ini.’.” Bahkan termasuk karomah beliau adalah sewaktu bayi ketika bulan Ramadlan beliau tidak pernah menetek kepada ibunya. Hal itu menjadi pedoman bagi penduduk Bagdad untuk menentukan awal bulan Rama-dlan[3] dan juga hari raya. Suatu hari mereka bertanya kepada ibunda Syaikh Abdul Qadir , apakah beliau siang itu menetek atau tidak. Ketika beliau tidak menetek maka bulan Ramadlan telah masuk dan apabila di siang hari -pada bulan Ramadlan- beliau menetek pada ibunya maka itu bertanda bahwa hari raya telah tiba.[4]
Beliau dilahirkan pada tahun 471 Hijriyah sebagaimana keterangan yang disampaikan oleh Imam al-Dzahabi dalam Siyar A’laam al-Nubala. Riwayat lain mengatakan bahwa beliau lahir pada tahun 470 Hijriyah sebagaimana keterangan Imam al-Sya’roni dalam Ath Thabaqaat Al Kubro dan juga keterangan dari beliau sendiri tentang kelahirannya. Beliau berkata: “Saya tidak mengetahui secara pasti, tetapi saya datang ke bagdad pada tahun ketika al-Tamimi masih hidup dan usia saya pada saat itu delapan belas tahun.”[5]. Al-Tamimi adalah ayah Muhammad Izzatullah bin Abdul Wahhab bin Abdul Azis bin al-Harits bin Asad yang meninggal pada tahun 488 Hijriyah. Beliau wafat pada malam Sabtu ba’da maghrib tanggal delapan Rabiul Akhir tahun 561 Hijriyah dan jenazahnya dimakam-kan dimadrasahnya setelah disaksikan oleh manusia yang tak terhitung jumlahnya.[6]
Beliau adalah ulama yang sangat harum namanya, berahlak mulia, selalu berada di antara orang-orang kecil dan para hamba sahaya untuk mengayomi mereka. Beliau senantiasa bergaul dengan orang-orang miskin sembari membantu membersihkan pakaian mereka. Beliau sama sekali tidak pernah mendekati para pembesar atau para pembantu negara. Juga sama sekali tidak pernah mendekati rumah seorang menteri atau raja.
Oleh karena itu tidak heran jika para ulama banyak memberikan gelar padanya. Diantara gelar yang diberikan kepada Syaikh Abdul Qadir adalah gelar Imam yang diberikan oleh Imam al-Sam’aani , seraya berkata: “Beliau adalah Imam pengikut madzhab Hambali dan guru mereka pada masanya.”[7] Imam al-Dzahabi juga memberinya gelar sebagai Syaikhul Islam ketika menulis biografinya dalan kitabnya Siyar A’lam al-Nubala.[8] Disamping gelar-gelar diatas masih banyak gelar-gelar yang diberikan oleh para ulama baik dari kalangan Hanabilah maupun Syafi’iyah yang tidak akan dipaparkan dalam tulisan ini.
Pemikiran Tasawuf Syaikh Abdul Qadir Al Jilani .
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dalam kitabnya, al-Ghunyah li Tholib al-Thoriq al-Haq mendefinisikan tasawuf sebagai pembenaran (percaya) kepada yang Haq (Allah ) dan berperilaku baik terhadap sesama hamba Allah swt. Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa aspek tasawuf bersandar pada dua hal:
1) Hubungan seorang hamba kepada Sang Kholiq dengan cara bersungguh-sungguh dalam me-ntaati segala perintah-Nya dan bersungguh-sungguh dalam usaha menjauhi larangan-Nya.
2) Hubungan seorang hamba dengan hamba yang lain dengan cara berperilaku yang baik dan berahlak yang terpuji. Rasulullah s.a.w. bersabda: “Bergaullah dengan manusia dengan perilaku yang terpuji.”[9]. Selain definisi di atas, beliau dalam kitabnya yang lain menjelaskan bahwa tasawuf adalah: bertakwa kepada Allah swt, mentaati-Nya, menerapkan syariat-Nya secara dhohir, menye-lamatkan hati, membaguskan wajah, melakukan dakwah, mence-gah penganiayaan, sabar menerima penganiayaan dan kefaqiran, menjaga kehor-matan para guru, bersikap baik dengan saudara, menasehati orang kecil dan besar, meniggalkan permu-suhan, bersikap lembut, melaksa-nakan fadlilah, menghindari menyimpan harta benda, menghindari persahabatan dengan orang yang tidak setingkat dan tolong-menolong dalam urusan agama dan dunia.”[10].
Definisi ini mencakup beberapa hal, yaitu: 1) Takwa kepada Allah swt, dengan cara menaatinya dengan menerapakan syariat-Nya dalam kehidupan sehari-hari. 2) Melatih, mendidik dan menyucikan jiwa untuk senantiasa berakhlak dengan sifat-sifat yang terpuji. 3) Menghargai orang lain dalam pergaulan sehari-hari dengan cara memberikan hak-haknya yang sesuai dan proporsional. Selain aspek-aspek di atas beliau juga menjelaskan bahwa tasawuf dibangun atas delapan dasar, yaitu: dermawan, ridha, sabar, isyarah, mengasingkan diri, tasawuf, bepergian, dan kefakiran.[11]
Kemudian Syaikh Abdul Qadir mendefinisikan Muta-shawif sebagai orang yang membebani dirinya untuk menjadi seorang sufi dan dia berupaya dengan sungguh-sungguh untuk bisa menjadi seorang sufi. Dia berupaya dan menempuh jalan satu kaum dan mengambilnya sebagai jalan suluk (menuju ke haribaan Allah swt). Sedangkan Sufi sendiri menurut Syaikh Abdul Qadir adalah orang yang telah merealisasikan makna-makna tasawuf, sehingga dia berhak untuk disebut sebagai seorang sufi. Dalam Ghunyah-nya beliau berkata: “Sufi diambil dari kata al mushafaat, yaitu seorang hamba yang telah disucikan oleh Allah swt. Atau orang yang suci dari penyakit jiwa, bersih dari sifat-sifat tercela, menempuh jalan yang terpuji, mengikuti hakekat dan tidak tunduk pada seorang makhluk.”[12]. Lebih lanjut Syaikh Abdul Qadir mengatakan bahwa sufi adalah orang yang batin dan dhohirnya bersih mengikuti al-Qur’an al-Karim dan Sunah Rasul-Nya s.a.w..[13]
Corak Pemikiran Tasawuf Syaikh Abdul Qadir Al Jilani .
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani telah menggambarkan secara lengkap tentang tasawuf yang memadukan antara ilmu syariat -yang didasarkaan pada al-Qur’an al-Karim dan Sunah Rasul s.a.w. dengan penerapan praktis dan keharusan untuk berpegang kepada syariat. Oleh karenanya tasawuf yang dirumuskan oleh Syaikh Abdul Qadir jauh dari paham-paham yang mengatakan, bahwa setelah seseorang mencapai tingkat hakekat, maka sudah tidak dibutuhkan lagi syariat.
Lebih lanjut bahwa corak pemikiran tasawuf Syaikh Abdul Qadir al-Jilani lebih condong kepada tasawuf yang dirumuskan oleh Imam al-Ghazali . Karena tasawuf Imam al-Ghazali berprinsip untuk tidak mening-galkan aqidah dan syariat.[14] Hal itu tidak menutup kemungkinan bahwa Syaikh Abdul Qadir pernah berguru kepada Imam al-Ghazali yang wafat pada tahun 505 H. Sementara Syaikh Abdul Qadir sampai di Baghdad pada tahun 488 H. Berarti Syaikh Abdul Qadir hidup bersama Imam al-Ghazali di Baghdad selama tujuh belas tahun. Maka sungguh mustahil jika beliau tidak pernah mendengar nama Imam al-Ghazali yang sangat masyhur itu, atau tidak pernah sama sekali berguru kepadanya. Karena itulah, setelah beliau melihat kedudukan Imam al-Ghazali di Baghdad, beliau ingin mengikuti jejaknya. Kemungkinan itu semakin kuat, bila kita melihat adanya keserupaan yang besar antara metode Imam al-Ghazali dengan metode Syeikh Abdul Qadir al-Jilani dalam penulisan buku mereka, yaitu Al Ihya’ dan Al Ghunyah.[15]
Karya-karya Syaikh Abdul Qadir al-Jilani .
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani termasuk tipe ulama yang selama masa hidupnya disibukkan dengan aspek pengajaran, pendidikan, perilaku dan ibadah, sehingga karya-karya beliau dalam bentuk tulisan tidak begitu banyak, karena sebagian besar waktunya tersita untuk kegiatan-kegiatan diatas. Karya-karya beliau dalam bentuk tulisan diantaranya adalah:
1. Al-Ghunyah li Thalib Thariiq al-Haq fi al-Akhlaq wa al-Tashawuf wa al- Adab al-Islamiyah yang terdiri dari dua juz dan terbagi menjadi lima bagian:
a) Dalam fiqh dan macam-macam ibadah, seperti sholat, zakat, puasa, haji, etika dan dzikir.
b) Dalam akidah, masalah keimanan, tauhid, kenabian, tempat kembali dan ahli bid’ah dari kelompok-kelompok sesat.
c) Beberapa majlis yang berkaitan dengan al-Qur’an, doa-doa dan fadlilah-fadlilah sebagian bulan dan hari.
d) Rincian beberapa hukum fiqh yang berkaitan dengan puasa, sholat dan doa.
e) Tentang tashawuf, adab dalam pergaulan, etika para murid, beberapa ahwal dan maqamat.
2. Futuh al-Ghaib, yaitu kitab yang berisi tentang nasehat-nasehat
3. yang berguna, pemikiran-pemikiran dan pendapat-pendapat yang berbicara tentang banyak permasalahan, seperti penjelasan tentang keadaan dunia, keadaan jiwa dan syahwatnya dan ketundukan kepada perintah Allah swt.
4. Al-Fath al-Rabbani wa al-Faidl al-Rahmani, yaitu sebuah kitab yang mencakup wasiat, nasehat-nasehat dan petunjuk-petunjuk di enam puluh dua majlis sejak tanggal 3-10-545 H sampai tanggal 6-7-546 H yang membahas tentang perma-salahan keimanan, keihlasan dan sebagainya.
Kiranya perjalanan hidup Syaikh Abdul Qadir al-Jilani bisa menjadi pegangan bagi kita dalam mengarungi kehidupan yang fana ini dengan cara mengkhidmahkan diri kita untuk kemaslahatan dan kesejahteraan umat. Sehingga semua yang kita kerjakan hanya semata-mata mengharap ridlo Ilahi…amin.
[1] Maksudnya, bahwa karomah-karomah Syaikh Abdul Qadir al-Jilani t dinukil segolongan ulama dari segolongan ulama lain yang tidak mungkin untuk melakukan kebohongan.[2] Majmu’ Fatawa Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah: 10/516-517, Ibnu Taimiyah Pembaharu Salafi hal.63.[3] Lihat Thabaqaat al-Kubro, hal.181[4] Uraian ini disampaikan oleh al-Allamah al-Habib Zein bin Ibrohim bin Smith dari kota Madinah al-Munawwaroh ketika menyampaikan tausiyahnya dihadapan Jama’ah al-Khidmah dalam rangka Haflah Dzikir dan Maulidirrasul SAW serta Haul Akbar Syeikh Abdul Qadir al-Jilani ra. pada hari ahad, 19 Agustus 2007 di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya.[5] Al-Syathnufi, hal.: 88
[6] Al-Dzahabi dalam Siyar A’laam Nubala’: 20/410
[7] Dzail Thabaqaat al-Hanabilah: 1/291
[8] Siyar A’laam Nubala’: 20/439
[9] H.R. Imam Ahmad, Imam Al Baihaqi, Imam At Tirmidzi dll.
[10] Futuh al-Ghaib, uraian ke lima puluh tujuh, hal.:166, Buku Putih Syeikh Abdul Qadir Al Jailani: 418
[11] Penjelasan lebih mendetail silahkan lihat kitab Futuh al-Ghaib, uraian ke tujuh puluh lima dan Buku Putih Syeikh Abdul Qadir Al Jailani: 418-420
[12] Al-Gunyah: 2/160
[13] Al-Fath al-Rabbani, majlis ke lima puluh sembilan, hal. 222
[14] Aswaja al-Nahdliyah: 29
[15] Buku Putih Syeikh Abdul Qadir Al Jilani,
0 komentar:
Post a Comment